Thursday 12 July 2012

PENELITIAN ILMIAH
SISTEM HUKUM ANGLO SAXON/COMMON LOW














Nama Kelompok:

1.     ADI PERDANA
2.     EVA SATRIANA







JURUSAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PAMULANG
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, karunia terutama kesempatan yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik. Tanpa adanya kesempatan, mustahil penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini secara tuntas, walaupun masih banyak terdapat kekurangan. Tugas kelompok ini memuat tentang “SISTEM HUKUM ANGLO SAXON/COMMON LOW”.
Selama proses penulisan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam penulisan makalah ini. Untuk itu dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini.
Segala kritikan dan masukan dari semua pihak, akan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi penulis demi kesempurnaan makalah ini.


Pamulang, Oktober 2011


Penulis










DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................. .... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. .... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah ................................................................. .... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Sistem Hukum Anglo-Saxon ......................................................... .... 3
B.     Ciri-ciri Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental ....... .... 4
C.     Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law) 5 Negara
Hukum Anglo Saxon (Rule Of Law) ............................................ .... 9
D.    Sejarah Sistem Hukum Anglo Saxon ............................................ .... 11
E.     Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan
Sistem Anglo Saxon ...................................................................... .... 13
F.      Kekuatan Mengikat Yurisprudensi Dalam Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Anglo Saxon          .................................................................................................... 14
G.    Dissenting Opinion ........................................................................ .... 19

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .................................................................................... .... 21

DAFTAR PUSTAKA










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis)
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Hukum Anglo-Saxon
Sistem hukum anglo-saxon sistem adalah sutau sistem hukum yang d dasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya sistem hukum ini diterapakan di irlandia, inggris, auastralia, selandia baryu. afrika selatan, kanada (kecuali provinsi quebec) dan amerika serikat (walaupun negara bagian louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum eropa kontinental napoleon).
Selain negara-negara tersebut beberapoa negara lain juga menerapkan sitem hukum anglo-saxon campuran, misalnya pakistan, india, dan nigeria yangh menerapkan sebagian besar sistem hukum anglo-saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. sistem hukum anglo-saxon, sebenarnya penerapanya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman. pendapat para ahli dan praktisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan perkara.
Di inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan dilselesaikan oleh benc dan bar dari pengadilan bench dan bar ini sangat di hormati oleh rakyat inggris, oleh karena mampu mewakili rasa keadilan dari m,asyarakat selkalipun bench dan bar merupakan pegawai pemerintah selama periode revolusi industri, para hakim dan penasehat hukum yang merupakan penjabaran dari hobeas, corpus, centorari dan madamus tetap tidak memihak selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru mendukung kekauatan-kekauatan sosial politik yang menghendaki perubahan dari masyarakat agraris ke masayarakat industri.
Dengan demikian di inggris pada masa revolusi lembaga-lembaga hukum tetap berada di tangan pengadilan yang beribawa  di negara-negara common law hukum kebiasaan berkembang ketika pemikiran manusia tentang hukum masih bersifat kaku. tugas menciptaka hukum kebiasaan semula di tangani oleh the court of chancery, the court of chancery ini digunakan oleh raja untuk menhadapai kekauasaan dari pengadilan. perkembangan tersebut kemudian menghasilakan perbedaan antara apa yang disebut dengan "law" dan "equity" di lai pihak. secara historis equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law dan merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan hukum kebasaan yang dikembangkan pengadilan dalam mengatasi adanya kerugian-kerugian yang di timbulkan oleh suatu pelanggaran hukum.
Di negara-negara yang menganut system common law hukum kebiasaan yang di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum piblik dan hukum privat. berdasarka uraian diatas jelas terlihat bahwa negara-negara yang menganut common law system bahwa hukum itu dibentuk oleh pengadilan satu-satunya karakteristik yang sama dari kedua sistem hukum tersebut adalah sama.

B.     Ciri-ciri Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
    Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
    Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
    Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
    Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
    Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
    Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
    Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

C.    Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law)
ANGLO SAXON / COMMON LAW
Awalnya diterapkan dan mulai berkembang pada abad 16 di Inggris, kemudian menyebar di negara jajahannya. Dalam sistem ini tidak ada sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan. Sering disebut sebagai Common Law.
Hukum Inggris karena keadaan geografis dan perkembangan politik serta sosial yang terus menerus, dengan pesat berkembang menurut garisnya sendiri, dan pada waktunya menjadi dasar perkembangan hukum Amerika.
Berkembang diluar Inggris, di Kanada, USA, dan bekas koloni Inggris (negara persemakmuran/ common wealth) spt, Australia, Malaysia, Singapore, India, dll.
Ciri dari common law system ini adalah :
1)      tidak ada perbedaan secara tajam antara hukum publik dan perdata
2)      tidak ada perbedaan antara hak kebendaan dan perorangan
3)      tidak ada kodifkasi
4)      keputusan hakim terdahulu mengikat hakim yang kemudian (asas precedent atau stare decisis)
Dalam perkembangannya, hukum Amerika bertambah bebas dlm sistem hukum aktual nya, yang lama kelamaan terdapat perbedaan yang fundamental yaitu:
1)      Di Amerika Hk yang tertinggi tertulis, yakni konstitusi Amerika yang berada di atas tiap- tiap undang-undang.
2)      Di Inggris kekuasaan parlemen  untuk membuat uu tdk terbatas.
3)      Karena seringnya ada kebutuhan akan penafsiran konstitusi, Hakim Amerika (dibanding Inggris)lebih sering dihadapkan pada persoalan kepentingan umum.
4)      Kebutuhan untuk mensistematisasikan hukum, di Amerika dirasa lebih mendesak, karena banyaknya bahan hukum yang merupakan ancaman karena tidak mudah untuk diatur

Sumber Hukum
1)       Putusan–putusan hakim/putusan pengadilan atau yurisprudensi (judicial decisions). Putusan-putusan hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui putusan-putusan hakim itu prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.
2)       Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui juga, kerena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari putusan pengadilan.

Putusan pengadilan, kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum Eropa Kontinental.

Peran Hakim
1)     Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja. Hakim juga berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat.
2)     Hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim –hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis.
3)     Oleh karena itu, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
4)     Namun, bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum. Sistem hukum Anglo-Amerika sering disebut juga dengan istilah Case Law.

Penggolongannya
1)   Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Amerika itu mengenal pula pembagian ”hukum publik dan hukum privat”.
2)   Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum eropa kontinental.
3)   Sementara bagi hukum privat pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Anglo Amerika (Saxon) agak berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh sistem Eropa kontinental.
4)   Dalam sistem hukum Eropa kontonental ”hukum privat lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu”.
5)   Berbeda dengan itu, bagi sistem hukum Anglo Amerika pengertian ”hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang:
a) hak milik (law of property),
b) hukum tentang orang (law of persons),
c) hukum perjanjian (law of contract) dan
d)hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of tort).
6)   Seluruhnya tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan kebiasaan.

Sistem anglo saxon berorientasi pada Mazhab / Aliran Freie Rechtsbegung.
Aliran ini berpandangan secara bertolak belakang dengan aliran legisme. Aliran ini beranggapan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan menurut UU atau tidak.
Hal ini disebabkan karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum. Akibatnya adalah memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan UU merupakan hal yang sekunder.
Pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law) karena keputusan yang berdasar keyakinannya merupakan hukum dan keputusannya ini lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.


D.    Negara Hukum Anglo Saxon (Rule Of Law)
Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of The Law” atau pemerintahan oleh hukum atau government of judiciary. Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok :
1.      Supremacy Of Law
Dalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat.

2.      Equality Before The Law
Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang salah, melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.

3.      Human Rights
Human rights, maliputi 3 hal pokok, yaitu :
a.       the rights to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk melakukan sesuatu yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang lain.
b.      The rights to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain.
c.       The rights to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini harus dibatasi jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.

Paham Dicey ini adalah merupakan kelanjutan dari ajaran John Locke yang berpendapat bahwa :
1.      manusia sejak lahir sedah mempunyai hak-hak azasi.
2.      tidak seluruh hak-hak aasi diserahkan kepada Negara dalam kontrak social.
Persamaan Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara hukum Anglo saxon adalah keduanya mengakui adanya “Supremasi Hukum”.
Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradila yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Selanjutnya, konsep Rule Of Law dikembangkan dari ahli hukum (juris) Asia Tenggara & Asia Pasifik yang berpendapat bahwa suatu Rule Of Law harus mempunyai syarat-syarat :
1.      Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara / prosedur untuk perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.      Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.      Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
4.      Pemilihan umum yang bebas.
5.      Kebebasan untuk berserikat / berognanisasi dan beroposisi.
6.      Pendidikan civic / politik.
Ciri-ciri Negara hukum berdasarkan Rule Of Law :
1.    Pengakuan & perlindungan hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya.
2.    Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun.
3.    Legalitas dalam segala bentuk.

E.     Sejarah Sistem Hukum Anglo Saxon
David dan Brierly (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 302) membuat periodisasi Common Law ke dalam tahapan sebagai berikut :
Sebelum Penaklukan Norman di tahun 1066;
Periode kedua membentang dari 1066 sampai ke penggabungan Tudors (1485). Pada periode ini berlangsunglah pembentukan Common Law, yaitu penerapan sistem hukum tersebut secara luas dengan menyisihkan kaidah-kaidah lokal;
Dari tahun 1485 sampai 1832. Pada periode ini berkembanglah suatu sistem kaidah lain yang disebut “kaidah equity”. Sistem kaidah ini berkembang di samping Common Law dengan fungsi melengkapi dan pada waktu-waktu tertentu juga menyaingi Common Law.
Dari tahun 1832 sampai sekarang. Ini merupakan periode modern bagi Common Law. Pada periode ini ia mengalami perkembangan dalam penggunaan hukum yang dibuat atau perundang-undangan. Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada perkembangan yang tradisional. Untuk menghadapi kehidupan modern, Common Law semakin menerima campur tangan pemerintah dan badan-badan administrasi.
Common law, berbeda dengan kebiasaan yang berlaku lokal, adalah hukum yang berlaku untuk dan di seluruh Inggris. Tetapi keadaan atau deskripsi yang demikian itu belum terjadi pada tahun 1066, seperti dapat dilihat pada periodisasi di muka. “The assemblies of free men” yang disebut Country of Hendred Courts hanya menerapkan kebiasaan-kebiasaan lokal. Pembinaan suatu hukum yang berlaku untuk seluruh negeri merupakan karya yang semata-mata dilakukan oleh the royal courts of justice, biasanya disebut The Courts of Westminster. Nama ini dipakai sesuai dengan tempat mereka bersidang sejak abad ketiga belas.
Kekuasaaan raja sebagai hakim yang memegang kedaulatan bagi seluruh negeri makin bertumbuh. Lambat laun rakyat memandang ke pengadilan kerajaan itu lebih dari pengadilan-pengadilan yang lain dan membawa sengketanya ke royal courts tersebut. Didorong oleh kebutuhan, maka pengadilan raja itupun mengembangkan prosedur modern dan menyerahkan penyelesaian perkara kepada pertimbangan juri. Sementara itu pengadilan-pengadilan lain tetap menggunakan prosedur yang sudah kuno. Secara pelan-pelan pengadilan kerajaan memperluas yurisdiksinya dan pada penghujung abad pertengahan, ia pada kenyataannya merupakan satu-satunya pengadilan di Inggris. Pengadilan feodal, seperti juga the Hundred Courts, makin menghilang; pengadilan setempat dan pengadilan dagang hanya menangani kasus-kasus kecil; pengadilan gereja hanya mengurusi perkara yang berhubungan dengan agama dan disiplin para pejabat gereja.
Sistem hukum ini berkembang dan berlaku pada negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama di Amerika Serikat namun tetap dipengaruhi oleh keadaan sistem sosial yang dianut oleh masing-masing negara jajahan tersebut.
Sistem hukum ini mengandung kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya hukum anglo saxon yang tidak tertulis ini lebih memiliki sifat yang fleksibel dan sanggup menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya karena hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum tidak tertulis (Common law). Kelemahannya, unsur kepastian hukum kurang terjamin dengan baik, karena dasar hukum untuk menyelesaikan perkara/masalah diambil dari hukum kebiasaan masyarakat/hukum adat yang tidak tertulis.



F.     Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon
Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut:
1.   Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
2.   Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur hukum.
3.   Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat.
4.   Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
5.   Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
6.   Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7.   Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
8.   Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
9.   Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.
10. Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.

G.    Kekuatan Mengikat Yurisprudensi Dalam Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Anglo Saxon
Dikaji dari perspektif sumber hukum maka Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam artian formal. Dikaji dari aspek terminologinya maka yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum (Rechtsgeleerdheid). Sebagai istilah teknis yuridis di Indonesia, sama pengertiannya kata “Jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan “Jurisprudence” dalam bahasa Perancis, yaitu yang berarti hokum peradilan atau peradilan tetap.
Dalam bahasa Inggris maka terminologi “Jurisprudence” diartikan sebagai teori ilmu hukum, sedangkan pengertian yurisprudensi dipergunakan dalam rumpun sistem “Case Law” atau “Judge-made Law”.
Kemudian kata “Jurisprudenz” dalam bahasa Jerman berarti ilmu hokum dalam arti yang sempit (aliran Ajaran Hukum), misalnya Begriff-jurisprudenz, Interressen jurisprudenz dan lain sebagainya. Istilah teknis bahasa Jerman untuk pengertian yurisprudensi, adalah kata “Ueberlieferung”.[1]
Sebagai salah satu sumber hukum formal maka yurisprudensi penting eksistensinya apabila dikorelasikan terhadap tugas hakim. Apabila dikaji dari aliran legisme maka peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena diasumsikan semua hukum terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat apa yang ada dalam undangundang, sehingga merupakan pelaksana undang-undang. Sedangkan menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena pekerjaan hakim adalah melakukan “Rechtsschepping”, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersifat substansial di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undang rechtsvinding, peranan yurisprudensi relatif penting dan aspek ini diserahkan kepada kebijakan hakim. Menurut aliran ini, hakim terikat undang-undang akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim memiliki “kebebasan yang terikat” (gebonden Vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (Vrije Gebondenheid). Oleh sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai melakukan “Rechtsvinding” yang artinya adalah menyelaraskan undangundang sesuai dengan tuntutan jaman. Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas dapat melalui pelbagai penafsiran, seperti penafsiran undang-undang, analogi (abstraksi), Rechtsverfijning/determinatie yaitu membuat pengkhususan dari suatu asas dalam undang-undang yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). Contohnya adalah arrest H.R. tertanggal 4 Februari 1916 mengenai pasal 1401 N.B.W (sama dengan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Didalam keputusan tersebut Hoge Raad memuat pengkhususan dari azas “Siapa bersalah (penuh) wajib untuk mengganti kerugian (penuh)”, menjadi “Siapa bersalah sebagian wajib untuk mengganti kerugian sebagian”. Keputusan ini antara lain dimuat dalam W. 9949 dan N.J. 1916-450.[2]
Sedangkan apabila dikaji dari pandangan doktrina, maka ada dua alasan pentingnya eksistensi yurisprudensi di Indonesia. Pertama, yurisprudensi erat kaitannya dengan pembaharuan dan pembinaan hokum seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja:
Walaupun perundang-undangan merupakan teknik utama untuk melaksanakan pembaharuan hukum, pembaharuan kaidah-kaidah dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan kaidah demikian juga menggunakan sumber-sumber hukum lain yaitu keputusan badan-badan peradilan (yurisprudensi),sedangkan tulisan sarjana hukum yang terkemuka disebut pula sebagai sumbertambahan.”[3]
Pada negara yang menganut Sistem Hukum Kodefikasi/Civil Law atau Eropa Kontinental seperti Indonesia dengan negara yang menganut Sistem Comman Law/Anglo Saxon/Case law seperti di Negara Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain. Pada hakekatnya maka yurisprudensi di negara-negara yang sistem hukumnya Comman Law seperti di Inggris atau Amerika Serikat, mempunyai pengertian yang lebih luas, dimana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa kontinental termasuk kita di Indonesia yang berdasarkan asas konkordansi juga menganut sistem itu, maka yuriprudensi hanya berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi yang kita maksudkan sebagai putusan pengadilan, di negara-negara Anglo Saxon dinamai preseden.[4]
Dikaji dari aspek teoritik dan praktik peradilan, pada hakekatnya yurisprudensi dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu:
1.    Yurisprudensi (biasa) dimana seluruh putusan pengadilan yang telah bersifat “inkracht van gewijsde” yaitu telah berkekuatan hukum tetap, seperti misalnya putusan perdamaian, seluruh putusan yudex facti (Pengadilan Negeri/Tinggi yang telah diterima oleh para pihak), seluruh putusan Mahkamah Agung RI, dan lain sebagainya.
2.    Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang sejenis berlangsung secara terus menerus.
Pada asasnya yurisprudensi adalah hukum (judge made law) dan mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak (Pasal 1917 KUH Perdata) serta mengikat berlandaskan asas Res Judicata Proveri ate Habetur.
Apabila diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat yurisprudensi dalam sistem hukum eropa kontinental seperti di Indonesia dan sistem hukum comman law maka terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan terhadap suatu yurisprudensi pada sistem hokum eropa kontinental seperti Indonesia. Tegasnya, menurut Prof. Z. Asikinm Kusumaatmadja, SH maka kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia bersifat “Persuasive precedent”. Lain halnya di negara-negara penganut Anglo Saxon, dimana dianut adanya sistem “the binding force of precedent” atau asas “stare decisis” atau asas “stare decisis et quita non movere”. Secara gradual asas ini mengikat hakim pada yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi yurisprudensi yang bersifat esensial yang disebut ratio decidendi. Pada asasnya, lembaga preseden dalam sistem hukum Comman law system menentukan ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya. Hal ini berarti, bahwa ia merupakan hasil karya dari para hakim dan bukan dari para ahli hukum yang lain, seperti pengajar-pengajar pada perguruan tinggi, bagaimanapun pandainya mereka ini. Sebaliknya, karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai hukum manakala ia dihasilkan dalam suatu proses pengadilan. Pendapat seorang hakim yang dinyatakan di luar tugasnya mengadili, bukan merupakan ketentuan hukum yang sah.[5]
Akan tetapi, walaupun di Indonesia yurisprudensi secara teoritik dan praktik bersifat “persuasieve precedent” akan tetapi dalam praktiknya tidak sedikit yurisprudensi tersebut dijadikan acuan oleh hakim bawahannya (yudex facti). Menurut Utrecht[6] ada 3 (tiga) sebab maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain:
1.      Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung.
Mr. Wirjono Projodikoro, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung RI, mengatakan: “Misalnya di Indonesia Mahkamah Agung adalah badan pengadilan yang tertinggi yang bersendi atas Undang-Undang Dasar melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan pengadilanpengadilan yang lain. Dalam pengawasan ini dan lagi dalam peradilan kasasi sudah seharusnya Mahkamah Agung dengan putusan-putusannya mempengaruhi cara berjalannya peradilan di seluruh Indonesia. Seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain yang kedudukannya lebih tinggi --Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung -- karena hakim yang disebut terakhir adalah pengawas atas pekerjaannya. Di samping itu juga sering juga dihormatinya, karena jasa-jasanya (telah banyak pengalamannya). Dapat dikatakan: karena suatu sebab yang psikhologis, maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain yang berkedudukannya lebih tinggi.
2.      Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya lebih tinggi. Bila seorang hakim member keputusan yang isinya berbeda dari pada isi keputusan seorang hakim yang kedudukannya lebih tinggi, yaitu seorang hakim yang mengawasi pekerjaan hakim yang disebut pertama, maka sudah tentu pihak yang tidak menerima keputusan itu akan meminta apel atau revisi, yaitu naik banding. Pihak yang tidak menerima keputusan tersebut akan meminta perkaranya dapat dibawa kemuka hakim itu yang kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan hakim yang telah memutuskan perkaranya, dan yang pernah memberi keputusan mengenai suatu perkara yang coraknya sama tetapi bunyinya keputusan berlainan.
3.      Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.
Pada asasnya, dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka dapatlah ditarik suatu “benang merah” bahwasanya yurisprudensi adalah hukum (judge made law) dan mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak (Pasal 1917 KUH Perdata) serta mengikat berlandaskan asas Res Judicata Proveri ate Habetur. Apabila diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat yurisprudensi dalam sistem hukum eropa kontinental seperti di Indonesia dan sistem hukum comman law seperti di Amerika serikat dan Inggris maka terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan terhadap suatu yurisprudensi pada sistem hukum eropa kontinental.
Tegasnya, kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia bersifat “Persuasive precedent” sedangkan di negara-negara penganut Anglo Saxon menganut sistem “the binding force of precedent” atau asas “stare decisis” atau asas “stare decisis et quita non movere”. Secara gradual asas ini mengikat hakim pada yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi yurisprudensi yang bersifat esensial yang disebut ratio decidendi. Pada asasnya, lembaga preseden dalam sistem hukum Comman law system menentukan ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya.

H.    Dissenting Opinion
Pada negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitan terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalam hukum.
Pendapat atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai pendapat hukum. Pada negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon, Legal Opinion tersebut terdiri dari:
1.      Judicial Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau putusan hakim di dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun pidana;
2.      Majority Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas dari para hakim pengadilan;
3.      Dissenting Opinion adalah perbedaan pendapat;
4.      Plurality Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu kelompok dari lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding, dimana tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh kelompok mayoritas di pengadilan.
5.      Concuring Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa hakim pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi menuangkannya dengan cara yang berbeda.
6.      Memorandum Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa catatan atau memo.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sistem hukum anglo-saxon sistem adalah sutau sistem hukum yang d dasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya sistem hukum ini diterapakan di irlandia, inggris, auastralia, selandia baryu. afrika selatan, kanada (kecuali provinsi quebec) dan amerika serikat (walaupun negara bagian louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum eropa kontinental napoleon).
Di negara-negara yang menganut system common law hukum kebiasaan yang di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum piblik dan hukum privat. berdasarka uraian diatas jelas terlihat bahwa negara-negara yang menganut common law system bahwa hukum itu dibentuk oleh pengadilan satu-satunya karakteristik yang sama dari kedua sistem hukum tersebut adalah sama.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).






DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Toko Buku Gunung Agung, cetakan II, Jakarta
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000











[1] Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 56
[2] Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan....., Ibid, hlm. 60-61
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hlm. 12
[4] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Toko Buku Gunung Agung, cetakan II, Jakarta, hlm. 125
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 113
[6] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum,  hlm. 122-123

No comments:

Post a Comment