PENELITIAN ILMIAH
SISTEM HUKUM ANGLO SAXON/COMMON LOW
Nama Kelompok:
1.
ADI PERDANA
2.
EVA SATRIANA
JURUSAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PAMULANG
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala rahmat, karunia terutama kesempatan yang
diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik. Tanpa adanya
kesempatan, mustahil penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini secara
tuntas, walaupun masih banyak terdapat kekurangan. Tugas
kelompok ini memuat tentang “SISTEM
HUKUM ANGLO SAXON/COMMON LOW”.
Selama proses penulisan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu dari hati yang paling dalam penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulisan makalah ini.
Segala kritikan dan
masukan dari semua pihak, akan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi
penulis demi kesempurnaan makalah ini.
Pamulang, Oktober 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR .................................................................................. .... ii
DAFTAR
ISI ................................................................................................. .... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
belakang masalah ................................................................. .... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Sistem
Hukum Anglo-Saxon ......................................................... .... 3
B. Ciri-ciri
Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental ....... .... 4
C. Sistem
Hukum Anglo Saxon (Common Law) 5 Negara
Hukum
Anglo Saxon (Rule Of Law) ............................................ .... 9
D. Sejarah
Sistem Hukum Anglo Saxon ............................................ .... 11
E. Perbedaan
Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan
Sistem
Anglo Saxon ...................................................................... .... 13
F.
Kekuatan Mengikat Yurisprudensi Dalam Sistem Hukum
Eropa Kontinental Dan Anglo Saxon .................................................................................................... 14
G.
Dissenting Opinion ........................................................................ .... 19
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
.................................................................................... .... 21
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan
dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak,
sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap
kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara
dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara
hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan
mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf
Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik
dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum
pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal
perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang -
undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda
bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya
bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan
dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku
pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya
mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran
ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak
memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain,
seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam
berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari
zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS).
KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana
asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang
diatur di luar KUHP (lex specialis)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Hukum Anglo-Saxon
Sistem hukum anglo-saxon sistem adalah sutau sistem
hukum yang d dasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang
terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya sistem
hukum ini diterapakan di irlandia, inggris, auastralia, selandia baryu. afrika
selatan, kanada (kecuali provinsi quebec) dan amerika serikat (walaupun negara
bagian louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum
eropa kontinental napoleon).
Selain negara-negara tersebut beberapoa negara lain
juga menerapkan sitem hukum anglo-saxon campuran, misalnya pakistan, india, dan
nigeria yangh menerapkan sebagian besar sistem hukum anglo-saxon, namun juga
memberlakukan hukum adat dan hukum agama. sistem hukum anglo-saxon, sebenarnya
penerapanya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang
karena sesuai dengan perkembangan zaman. pendapat para ahli dan praktisi hukum
lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan perkara.
Di inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan
dilselesaikan oleh benc dan bar dari pengadilan bench dan bar ini sangat di
hormati oleh rakyat inggris, oleh karena mampu mewakili rasa keadilan dari
m,asyarakat selkalipun bench dan bar merupakan pegawai pemerintah selama
periode revolusi industri, para hakim dan penasehat hukum yang merupakan
penjabaran dari hobeas, corpus, centorari dan madamus tetap tidak memihak
selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru mendukung
kekauatan-kekauatan sosial politik yang menghendaki perubahan dari masyarakat
agraris ke masayarakat industri.
Dengan demikian di inggris pada masa revolusi
lembaga-lembaga hukum tetap berada di tangan pengadilan yang beribawa di negara-negara common law hukum kebiasaan
berkembang ketika pemikiran manusia tentang hukum masih bersifat kaku. tugas
menciptaka hukum kebiasaan semula di tangani oleh the court of chancery, the
court of chancery ini digunakan oleh raja untuk menhadapai kekauasaan dari
pengadilan. perkembangan tersebut kemudian menghasilakan perbedaan antara apa
yang disebut dengan "law" dan "equity" di lai pihak. secara
historis equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law dan merupakan reaksi
terhadap ketidakmampuan hukum kebasaan yang dikembangkan pengadilan dalam mengatasi
adanya kerugian-kerugian yang di timbulkan oleh suatu pelanggaran hukum.
Di negara-negara yang menganut system common law
hukum kebiasaan yang di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah
berlangsung sejak lama dan tidak dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum
piblik dan hukum privat. berdasarka uraian diatas jelas terlihat bahwa
negara-negara yang menganut common law system bahwa hukum itu dibentuk oleh
pengadilan satu-satunya karakteristik yang sama dari kedua sistem hukum
tersebut adalah sama.
B.
Ciri-ciri
Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang
didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang
kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini
diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan,
Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian
Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa
Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga
menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan
Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga
memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya
lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena
sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih
menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem
hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi
(dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim
dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang
menganut sistem hukum ini.
• Adanya
suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
• Bahwa
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum
atau peraturan perundang-undangan.
• Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
• Adanya
pembagian kekuasaan dalam negara.
• Adanya
pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan
mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan
tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
• Adanya
peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut
serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah.
• Adanya
sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam
konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum
merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia
ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan
konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain.
C.
Sistem
Hukum Anglo Saxon (Common Law)
ANGLO SAXON / COMMON
LAW
Awalnya diterapkan dan mulai berkembang pada abad 16
di Inggris, kemudian menyebar di negara jajahannya. Dalam sistem ini tidak ada
sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di
pengadilan/keputusan pengadilan. Sering disebut sebagai Common Law.
Hukum Inggris karena keadaan geografis dan
perkembangan politik serta sosial yang terus menerus, dengan pesat berkembang
menurut garisnya sendiri, dan pada waktunya menjadi dasar perkembangan hukum
Amerika.
Berkembang diluar Inggris, di Kanada, USA, dan bekas
koloni Inggris (negara persemakmuran/ common wealth) spt, Australia, Malaysia,
Singapore, India, dll.
Ciri dari common law system ini
adalah :
1)
tidak ada perbedaan secara tajam antara
hukum publik dan perdata
2)
tidak ada perbedaan antara hak kebendaan
dan perorangan
3)
tidak ada kodifkasi
4)
keputusan hakim terdahulu mengikat hakim
yang kemudian (asas precedent atau stare decisis)
Dalam perkembangannya, hukum Amerika bertambah bebas
dlm sistem hukum aktual nya, yang lama kelamaan terdapat perbedaan yang
fundamental yaitu:
1)
Di Amerika Hk yang tertinggi tertulis,
yakni konstitusi Amerika yang berada di atas tiap- tiap undang-undang.
2)
Di Inggris kekuasaan parlemen untuk membuat uu tdk terbatas.
3)
Karena seringnya ada kebutuhan akan penafsiran
konstitusi, Hakim Amerika (dibanding Inggris)lebih sering dihadapkan pada
persoalan kepentingan umum.
4)
Kebutuhan untuk mensistematisasikan
hukum, di Amerika dirasa lebih mendesak, karena banyaknya bahan hukum yang
merupakan ancaman karena tidak mudah untuk diatur
Sumber Hukum
1) Putusan–putusan
hakim/putusan pengadilan atau yurisprudensi (judicial decisions).
Putusan-putusan hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui putusan-putusan
hakim itu prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.
2) Kebiasaan-kebiasaan
dan peraturan hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan
administrasi negara diakui juga, kerena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan
dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari putusan pengadilan.
Putusan pengadilan, kebiasaan dan peraturan hukum
tertulis tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana
pada sistem hukum Eropa Kontinental.
Peran Hakim
1) Hakim
berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan
peraturan-peraturan hukum saja. Hakim juga berperan besar dalam menciptakan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat.
2) Hakim
mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan
menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim
–hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis.
3) Oleh
karena itu, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang
sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
4) Namun,
bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang
dicari, hakim berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan
perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum. Sistem hukum Anglo-Amerika
sering disebut juga dengan istilah Case Law.
Penggolongannya
1) Dalam
perkembangannya, sistem hukum Anglo Amerika itu mengenal pula pembagian ”hukum
publik dan hukum privat”.
2) Pengertian
yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan
oleh sistem hukum eropa kontinental.
3) Sementara
bagi hukum privat pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Anglo Amerika
(Saxon) agak berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh sistem Eropa
kontinental.
4) Dalam
sistem hukum Eropa kontonental ”hukum privat lebih dimaksudkan sebagai
kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi
kedua hukum itu”.
5) Berbeda
dengan itu, bagi sistem hukum Anglo Amerika pengertian ”hukum privat lebih
ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang:
a) hak
milik (law of property),
b) hukum
tentang orang (law of persons),
c) hukum
perjanjian (law of contract) dan
d)hukum
tentang perbuatan melawan hukum (law of tort).
6) Seluruhnya
tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan
kebiasaan.
Sistem anglo saxon berorientasi
pada Mazhab / Aliran Freie Rechtsbegung.
Aliran ini berpandangan secara bertolak belakang
dengan aliran legisme. Aliran ini beranggapan bahwa di dalam melaksanakan
tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan menurut UU atau tidak.
Hal ini disebabkan karena pekerjaan hakim adalah
melakukan penciptaan hukum. Akibatnya adalah memahami yurisprudensi merupakan
hal yang primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan UU merupakan hal yang
sekunder.
Pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta
hukum (judge made law) karena keputusan yang berdasar keyakinannya merupakan
hukum dan keputusannya ini lebih dinamis dan up to date karena senantiasa
memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
D.
Negara
Hukum Anglo Saxon (Rule Of Law)
Negara
Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi mengenal atau
menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of The Law” atau pemerintahan oleh
hukum atau government of judiciary. Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus
mempunyai 3 unsur pokok :
1.
Supremacy Of Law
Dalam
suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan
harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila
hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan
kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi
“tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat.
2.
Equality Before The Law
Dalam
Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama
(sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi
mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur
pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka
orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya
Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang salah,
melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.
3.
Human Rights
Human
rights, maliputi 3 hal pokok, yaitu :
a. the
rights to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk melakukan
sesuatu yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang lain.
b. The
rights to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk
mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga
harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang
lain.
c. The
rights to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini harus
dibatasi jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.
Paham Dicey ini adalah merupakan kelanjutan dari ajaran John Locke yang berpendapat bahwa :
1. manusia
sejak lahir sedah mempunyai hak-hak azasi.
2. tidak
seluruh hak-hak aasi diserahkan kepada Negara dalam kontrak social.
Persamaan
Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara hukum Anglo saxon adalah keduanya
mengakui adanya “Supremasi Hukum”.
Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradila yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradila yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Selanjutnya,
konsep Rule Of Law dikembangkan dari ahli hukum (juris) Asia Tenggara &
Asia Pasifik yang berpendapat bahwa suatu Rule Of Law harus mempunyai syarat-syarat
:
1. Perlindungan
konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu harus menentukan pula
cara / prosedur untuk perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Kebebasan
untuk menyatakan pendapat.
4. Pemilihan
umum yang bebas.
5. Kebebasan
untuk berserikat / berognanisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan
civic / politik.
Ciri-ciri Negara
hukum berdasarkan Rule Of Law :
1. Pengakuan
& perlindungan hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya.
2. Peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau
kekuatan apapun.
3. Legalitas
dalam segala bentuk.
E.
Sejarah
Sistem Hukum Anglo Saxon
David dan Brierly (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 302)
membuat periodisasi Common Law ke dalam tahapan sebagai berikut :
Sebelum Penaklukan
Norman di tahun 1066;
Periode kedua membentang dari 1066 sampai ke
penggabungan Tudors (1485). Pada periode ini berlangsunglah pembentukan Common
Law, yaitu penerapan sistem hukum tersebut secara luas dengan menyisihkan
kaidah-kaidah lokal;
Dari tahun 1485 sampai 1832. Pada periode ini
berkembanglah suatu sistem kaidah lain yang disebut “kaidah equity”. Sistem
kaidah ini berkembang di samping Common Law dengan fungsi melengkapi dan pada
waktu-waktu tertentu juga menyaingi Common Law.
Dari tahun 1832 sampai sekarang. Ini merupakan
periode modern bagi Common Law. Pada periode ini ia mengalami perkembangan
dalam penggunaan hukum yang dibuat atau perundang-undangan. Ia tidak bisa lagi
hanya mengandalkan pada perkembangan yang tradisional. Untuk menghadapi
kehidupan modern, Common Law semakin menerima campur tangan pemerintah dan
badan-badan administrasi.
Common law, berbeda dengan kebiasaan yang berlaku
lokal, adalah hukum yang berlaku untuk dan di seluruh Inggris. Tetapi keadaan
atau deskripsi yang demikian itu belum terjadi pada tahun 1066, seperti dapat
dilihat pada periodisasi di muka. “The assemblies of free men” yang disebut
Country of Hendred Courts hanya menerapkan kebiasaan-kebiasaan lokal. Pembinaan
suatu hukum yang berlaku untuk seluruh negeri merupakan karya yang semata-mata
dilakukan oleh the royal courts of justice, biasanya disebut The Courts of
Westminster. Nama ini dipakai sesuai dengan tempat mereka bersidang sejak abad
ketiga belas.
Kekuasaaan raja sebagai hakim yang memegang
kedaulatan bagi seluruh negeri makin bertumbuh. Lambat laun rakyat memandang ke
pengadilan kerajaan itu lebih dari pengadilan-pengadilan yang lain dan membawa
sengketanya ke royal courts tersebut. Didorong oleh kebutuhan, maka pengadilan
raja itupun mengembangkan prosedur modern dan menyerahkan penyelesaian perkara
kepada pertimbangan juri. Sementara itu pengadilan-pengadilan lain tetap
menggunakan prosedur yang sudah kuno. Secara pelan-pelan pengadilan kerajaan
memperluas yurisdiksinya dan pada penghujung abad pertengahan, ia pada
kenyataannya merupakan satu-satunya pengadilan di Inggris. Pengadilan feodal,
seperti juga the Hundred Courts, makin menghilang; pengadilan setempat dan
pengadilan dagang hanya menangani kasus-kasus kecil; pengadilan gereja hanya
mengurusi perkara yang berhubungan dengan agama dan disiplin para pejabat
gereja.
Sistem hukum ini berkembang dan berlaku pada
negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama di Amerika Serikat namun tetap
dipengaruhi oleh keadaan sistem sosial yang dianut oleh masing-masing negara
jajahan tersebut.
Sistem hukum ini mengandung kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya hukum anglo saxon yang tidak tertulis ini lebih
memiliki sifat yang fleksibel dan sanggup menyesuaikan dengan perkembangan
zaman dan masyarakatnya karena hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum tidak
tertulis (Common law). Kelemahannya, unsur kepastian hukum kurang terjamin
dengan baik, karena dasar hukum untuk menyelesaikan perkara/masalah diambil
dari hukum kebiasaan masyarakat/hukum adat yang tidak tertulis.
F.
Perbedaan
Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon
Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat
ditarik beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem
anglo saxon sebagai berikut:
1. Sistem
hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem
hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
2. Sistem
hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh
perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui
praktek prosedur hukum.
3. Hukum
menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein sedang
menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh
masyarakat.
4. Penemuan
kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian
sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa
kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk
penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
5. Pada
sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah
sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi,
yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi
terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
6. Pada
sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan
pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7. Keputusan
hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak
dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon
keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
8. Pada
sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak
tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo
saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
9. Pada
sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi
hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo
saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.
10. Pada
sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada
sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
G.
Kekuatan Mengikat Yurisprudensi
Dalam Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Anglo Saxon
Dikaji
dari perspektif sumber hukum maka Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam
artian formal. Dikaji dari aspek terminologinya maka yurisprudensi berasal dari
kata Jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum (Rechtsgeleerdheid).
Sebagai istilah teknis yuridis di Indonesia, sama pengertiannya kata “Jurisprudentie”
dalam bahasa Belanda dan “Jurisprudence” dalam bahasa Perancis,
yaitu yang berarti hokum peradilan atau peradilan tetap.
Dalam
bahasa Inggris maka terminologi “Jurisprudence” diartikan sebagai teori
ilmu hukum, sedangkan pengertian yurisprudensi dipergunakan dalam rumpun sistem
“Case Law” atau “Judge-made Law”.
Kemudian
kata “Jurisprudenz” dalam bahasa Jerman berarti ilmu hokum dalam arti
yang sempit (aliran Ajaran Hukum), misalnya Begriff-jurisprudenz, Interressen
jurisprudenz dan lain sebagainya. Istilah teknis bahasa Jerman untuk
pengertian yurisprudensi, adalah kata “Ueberlieferung”.[1]
Sebagai
salah satu sumber hukum formal maka yurisprudensi penting eksistensinya apabila
dikorelasikan terhadap tugas hakim. Apabila dikaji dari aliran legisme maka
peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena diasumsikan semua hukum
terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam melaksanakan
tugasnya terikat apa yang ada dalam undangundang, sehingga merupakan pelaksana
undang-undang. Sedangkan menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim
dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut
undang-undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena pekerjaan hakim adalah
melakukan “Rechtsschepping”, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi
logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersifat substansial
di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undang rechtsvinding,
peranan yurisprudensi relatif penting dan aspek ini diserahkan kepada kebijakan
hakim. Menurut aliran ini, hakim terikat undang-undang akan tetapi tidak
seketat aliran legisme karena hakim memiliki “kebebasan yang terikat” (gebonden
Vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (Vrije Gebondenheid). Oleh
sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai melakukan “Rechtsvinding”
yang artinya adalah menyelaraskan undangundang sesuai dengan tuntutan
jaman. Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas dapat melalui pelbagai
penafsiran, seperti penafsiran undang-undang, analogi (abstraksi), Rechtsverfijning/determinatie
yaitu membuat pengkhususan dari suatu asas dalam undang-undang yang mempunyai
arti luas (dari luas ke khusus). Contohnya adalah arrest H.R. tertanggal 4
Februari 1916 mengenai pasal 1401 N.B.W (sama dengan pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Didalam keputusan tersebut Hoge Raad memuat
pengkhususan dari azas “Siapa bersalah (penuh) wajib untuk mengganti kerugian
(penuh)”, menjadi “Siapa bersalah sebagian wajib untuk mengganti kerugian
sebagian”. Keputusan ini antara lain dimuat dalam W. 9949 dan N.J. 1916-450.[2]
Sedangkan
apabila dikaji dari pandangan doktrina, maka ada dua alasan pentingnya
eksistensi yurisprudensi di Indonesia. Pertama, yurisprudensi
erat kaitannya dengan pembaharuan dan pembinaan hokum seperti apa yang dikatakan
oleh Mochtar Kusumaatmadja:
“Walaupun
perundang-undangan merupakan teknik utama untuk melaksanakan pembaharuan hukum,
pembaharuan kaidah-kaidah dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi
pembaharuan kaidah demikian juga menggunakan sumber-sumber hukum lain yaitu
keputusan badan-badan peradilan (yurisprudensi),sedangkan tulisan sarjana hukum
yang terkemuka disebut pula sebagai sumbertambahan.”[3]
Pada
negara yang menganut Sistem Hukum Kodefikasi/Civil Law atau Eropa Kontinental
seperti Indonesia dengan negara yang menganut Sistem Comman Law/Anglo Saxon/Case
law seperti di Negara Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain. Pada
hakekatnya maka yurisprudensi di negara-negara yang sistem hukumnya Comman Law
seperti di Inggris atau Amerika Serikat, mempunyai pengertian yang lebih luas,
dimana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di
Negara-negara Eropa kontinental termasuk kita di Indonesia yang berdasarkan
asas konkordansi juga menganut sistem itu, maka yuriprudensi hanya berarti
putusan pengadilan. Yurisprudensi yang kita maksudkan sebagai putusan pengadilan,
di negara-negara Anglo Saxon dinamai preseden.[4]
Dikaji
dari aspek teoritik dan praktik peradilan, pada hakekatnya yurisprudensi dapat
dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu:
1. Yurisprudensi
(biasa) dimana seluruh putusan pengadilan yang telah bersifat “inkracht van
gewijsde” yaitu telah berkekuatan hukum tetap, seperti misalnya putusan
perdamaian, seluruh putusan yudex facti (Pengadilan Negeri/Tinggi yang telah
diterima oleh para pihak), seluruh putusan Mahkamah Agung RI, dan lain
sebagainya.
2. Yurisprudensi
tetap (vaste jurisprudentie) yaitu putusan hakim yang selalu diikuti
oleh hakim lain dalam perkara yang sejenis berlangsung secara terus menerus.
Pada
asasnya yurisprudensi adalah hukum (judge made law) dan mempunyai
kekuatan mengikat terhadap para pihak (Pasal 1917 KUH Perdata) serta mengikat
berlandaskan asas Res Judicata Proveri ate Habetur.
Apabila
diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat yurisprudensi dalam sistem
hukum eropa kontinental seperti di Indonesia dan sistem hukum comman law maka
terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan terhadap suatu
yurisprudensi pada sistem hokum eropa kontinental seperti Indonesia. Tegasnya,
menurut Prof. Z. Asikinm Kusumaatmadja, SH maka kekuatan mengikat yurisprudensi
di Indonesia bersifat “Persuasive precedent”. Lain halnya di
negara-negara penganut Anglo Saxon, dimana dianut adanya sistem “the binding
force of precedent” atau asas “stare decisis” atau asas “stare
decisis et quita non movere”. Secara gradual asas ini mengikat hakim pada
yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi yurisprudensi yang bersifat
esensial yang disebut ratio decidendi. Pada asasnya, lembaga preseden
dalam sistem hukum Comman law system menentukan ketentuan-ketentuan
hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya. Hal ini berarti, bahwa ia
merupakan hasil karya dari para hakim dan bukan dari para ahli hukum yang lain,
seperti pengajar-pengajar pada perguruan tinggi, bagaimanapun pandainya mereka
ini. Sebaliknya, karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai hukum manakala ia
dihasilkan dalam suatu proses pengadilan. Pendapat seorang hakim yang
dinyatakan di luar tugasnya mengadili, bukan merupakan ketentuan hukum yang
sah.[5]
Akan
tetapi, walaupun di Indonesia yurisprudensi secara teoritik dan praktik
bersifat “persuasieve precedent” akan tetapi dalam praktiknya tidak sedikit
yurisprudensi tersebut dijadikan acuan oleh hakim bawahannya (yudex facti).
Menurut Utrecht[6]
ada 3 (tiga) sebab maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain:
1. Keputusan
hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu dibuat
oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung.
Mr. Wirjono Projodikoro, yang pernah
menjadi Ketua Mahkamah Agung RI, mengatakan: “Misalnya di Indonesia Mahkamah
Agung adalah badan pengadilan yang tertinggi yang bersendi atas Undang-Undang
Dasar melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan
pengadilanpengadilan yang lain. Dalam pengawasan ini dan lagi dalam peradilan kasasi
sudah seharusnya Mahkamah Agung dengan putusan-putusannya mempengaruhi cara
berjalannya peradilan di seluruh Indonesia. Seorang hakim menurut keputusan
seorang hakim lain yang kedudukannya lebih tinggi --Pengadilan Tinggi atau Mahkamah
Agung -- karena hakim yang disebut terakhir adalah pengawas atas pekerjaannya.
Di samping itu juga sering juga dihormatinya, karena jasa-jasanya (telah banyak
pengalamannya). Dapat dikatakan: karena suatu sebab yang psikhologis, maka
seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain yang berkedudukannya lebih
tinggi.
2. Di
samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim
menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya
lebih tinggi. Bila seorang hakim member keputusan yang isinya berbeda dari pada
isi keputusan seorang hakim yang kedudukannya lebih tinggi, yaitu seorang hakim
yang mengawasi pekerjaan hakim yang disebut pertama, maka sudah tentu pihak
yang tidak menerima keputusan itu akan meminta apel atau revisi, yaitu naik banding.
Pihak yang tidak menerima keputusan tersebut akan meminta perkaranya dapat
dibawa kemuka hakim itu yang kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan hakim
yang telah memutuskan perkaranya, dan yang pernah memberi keputusan mengenai
suatu perkara yang coraknya sama tetapi bunyinya keputusan berlainan.
3. Akhirnya,
ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi
keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.
Pada asasnya, dari apa yang telah
diuraikan konteks di atas maka dapatlah ditarik suatu “benang merah” bahwasanya
yurisprudensi adalah hukum (judge made law) dan mempunyai kekuatan
mengikat terhadap para pihak (Pasal 1917 KUH Perdata) serta mengikat
berlandaskan asas Res Judicata Proveri ate Habetur. Apabila
diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat yurisprudensi dalam sistem
hukum eropa kontinental seperti di Indonesia dan sistem hukum
comman law seperti di Amerika serikat dan Inggris maka terletak pada
tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan terhadap suatu yurisprudensi pada
sistem hukum eropa kontinental.
Tegasnya, kekuatan mengikat
yurisprudensi di Indonesia bersifat “Persuasive precedent” sedangkan
di negara-negara penganut Anglo Saxon menganut sistem “the binding force
of precedent” atau asas “stare decisis” atau asas “stare
decisis et quita non movere”. Secara gradual asas ini mengikat hakim
pada yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi yurisprudensi yang bersifat
esensial yang disebut ratio decidendi. Pada asasnya, lembaga preseden
dalam sistem hukum Comman law system menentukan ketentuan-ketentuan
hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya.
H. Dissenting Opinion
Pada
negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika dan
Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan penjelasan
tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan
peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan Tertulis tersebut
dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang mengarahkan mereka
kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan dengan arahan dari
pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan
bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan
tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan
penerbitan terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalam
hukum.
Pendapat
atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal
Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai pendapat hukum. Pada
negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon, Legal Opinion tersebut
terdiri dari:
1. Judicial
Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau
putusan hakim di dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun
pidana;
2. Majority
Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui
oleh mayoritas dari para hakim pengadilan;
3. Dissenting
Opinion adalah perbedaan pendapat;
4. Plurality
Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu
kelompok dari lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding,
dimana tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh
kelompok mayoritas di pengadilan.
5. Concuring
Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa
hakim pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi
menuangkannya dengan cara yang berbeda.
6. Memorandum
Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh
lembaga peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa
catatan atau memo.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sistem hukum anglo-saxon sistem adalah sutau sistem
hukum yang d dasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang
terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya sistem
hukum ini diterapakan di irlandia, inggris, auastralia, selandia baryu. afrika
selatan, kanada (kecuali provinsi quebec) dan amerika serikat (walaupun negara
bagian louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum
eropa kontinental napoleon).
Di negara-negara yang menganut system common law
hukum kebiasaan yang di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah
berlangsung sejak lama dan tidak dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum
piblik dan hukum privat. berdasarka uraian diatas jelas terlihat bahwa
negara-negara yang menganut common law system bahwa hukum itu dibentuk oleh
pengadilan satu-satunya karakteristik yang sama dari kedua sistem hukum
tersebut adalah sama.
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang
didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang
kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini
diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan,
Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian
Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa
Kontinental Napoleon).
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. jur Andi
Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia
(Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional,
Surabaya 1981)
Drs. P.A.F
Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana
Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan
dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu uraian tentang Landasan Pikiran,
Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976
Achmad Ali,
Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Toko
Buku Gunung Agung, cetakan II, Jakarta
Satjipto Rahardjo, Ilmu
Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
[1]
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 56
[3]
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu uraian tentang Landasan Pikiran,
Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung,
1976, hlm. 12
[4]
Achmad Ali, Menguak Tabir
Hukum (Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Toko Buku Gunung Agung,
cetakan II, Jakarta, hlm. 125
[6]
Utrecht,
Pengantar Dalam Hukum, hlm.
122-123
No comments:
Post a Comment