BAB
I
PENDAHULUAN1
1.1
Latar Belakang Masalah
Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia, khususnya
kurikulum matematika tidak terlepas dari pengaruh perkembangan kurikulum
matematika di banyak negara di dunia 20 sampai 30 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan
bahwa sistem pendidikan yang ada tidak sesuai lagi untuk kebutuhan (Hudoyo,
2001: 29). Sementara kebutuhan hidup terus berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi seperti ini mendorong manusia
untuk memperbaharui pengetahuan dan kemampuannya sehingga mampu menyesuaikan
diri terhadap setiap perubahan yang terjadi.
Menurut Santosa (2001: 29):
Menyatakan bahwa kemajuan yang dicapai oleh negara-negara besar, hingga
bisa mendominasi dalam berbagai bidang seperti sekarang ini, ternyata 60%-80%
menggantungkan kepada matematika. Hal tersebut menunjukkan kontribusi besar
matematika terhadap kehidupan manusia, setidaknya seperti yang dialami
negara-negara besar tersebut.
1
|
Sebagaimana negara-negara maju, Indonesia sebagai negara
berkembang pun memerlukan matematika, karena matematika sendiri memiliki
kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan lainnya dan perkembangan
teknologi. Adalah hal yang mengkhawatirkan apabila matematika sebagai bekal
kebutuhan jangka panjang dan sebagai salah satu faktor yang signifikan dalam
membangun suatu negara tidak dimiliki oleh individunya. Dengan demikian dasar
matematika sebagai bekal kebutuhan harus dipersiapkan sejak dini.
Tidak dapat dipungkiri, adanya pendidikan matematika di
sekolah-sekolah adalah untuk mempersiapkan para ahli, pemikir, penemu. Dalam
bukunya Hamzah (2001): Menegaskan untuk menjadi ahli setidaknya para siswa
memahami benar konsep-konsep yang ada. Sehingga tentu saja sistem pendidikan,
dalam hal ini pembelajaran matematika di lapangan harus digarap secara serius
dan tepat.
Di lain pihak, sejumiah perubahan yang tercakup di dalam
kurikulum pembelajaran, terutama matematika menyentuh beberapa aspek mendasar
yang tidak mudah dipahami serta diimplementasikan di lapangan, sehinggga
menuntut upaya antisipasi dari berbagai pihak (Suryadi, 2005). Hal tersebut
tidak jarang membuat pihak terkait, terutama guru sebagai pihak yang langsung
bersentuhan dengan pembelajaran dan siswa di lapangan tidak mudah untuk
melakukan pengembangan pembelajaran secara konsisten dari yang telah biasa
dilakukan. Sehingga dominasi guru masih terjadi dalam proses aktivitas kelas,
latihan-latihan yang diberikan lebih banyak bersifat rutin, situasi pasifnya
siswa masih dominan daripada situasi aktif.
Sementara menurut Dahlan (2004: 6): Pengetahuan tidak
diterima secara pasif. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas aktif dalam
menelaah hubungan, pola, dan membuat generalisasi yang terpadu dalam
pengetahuan baru yang diperoleh siswa dan belajar adalah aktivitas sosial yang
terjadi dari interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan teman-temannya. Hal ini
dikuatkan oleh Hamzah (2001): Bahwa siswa harus aktif secara mental membangun
struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap
diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Bila pembelajaran matematika tidak mengalami banyak
perubahan. maksudnya pembelajaran matematika masih bersifat pasif dan tidak
melibatkan siswa dalam suatu aktivitas sosial, maka siswa hanya akan mampu
menerima pengetahuan sebatas apa yang guru sampaikan di muka kelas, sementara
potensi kognisi siswa belum dapat terasah dengan baik. Hal itu dapat
mengakibatkan siswa belum sampai pada pemahaman yang sebenarnya. Padahal kita
tahu bahwa siswa sendiri mempunyai potensi dasar untuk membangun struktur
kognisinya. hal itu berarti siswa sesungguhnya mampu membuat struktur konsep
yang akan lebih mudah dipahami menurut dirinya sendiri.
Catatan penting yang diperoleh di lapangan menurut Wahyudin
(1999: 222): Adalah tentang beberapa kelemahan yang terdapat pada siswa,
khususnya yang terdapat pada siswa SMP dan SMA antara lain: kurang memiliki
penguasaan terhadap materi prasyarat, pemahaman terhadap konsep-konsep dasar
matematika. rnenyimak dan memahami sebuah persoalan mengenai pokok bahasan
tertentu, dan kemampuan memberikan argumentasi dari setiap jawaban yang
diberikan. Jika demikian, maka kelemahan yang dimiliki siswa merupakan
kelemahan yang mendasar.
Matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan atau
menelaah bentuk-bentuk atau struktur-struktur yang abstrak dan hubungan di
antara hal-hal itu. Untuk dapat memahami struktur-struktur serta
hubungan-hubungan itu tentu saja diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep
yang terdapat dalam matematika itu. Dengan demikian, belajar matematika berarti
belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan
yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan
struktur-struktur tersebut (Hudoyo, 2001).
Struktur-struktur yang abstrak bisa menjadi salah satu
faktor penyebab konsep-konsep matematika sulit untuk dipahami dan
dikomunikasikan. Bagi sebagian besar siswa, terutama siswa dengan minat dan
bakat yang kurang terhadap matematika hal tersebut menjadi daftar tambahan dari
alasan mengapa matematika itu kurang disenangi dan dikatakan sulit. Hal
tersebut dapat menghambat tujuan pembelajaran sendiri. Jika siswa sudah merasa
tidak senang dan sulit, bukan tidak mungkin kemauan untuk memahami matematika
akan berkurang.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan teori belajar, struktur
dan konsep matematika dapat disajikan sedemikian rupa sehingga dapat diserap
sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Hal ini berarti terdapat faktor
penting lain yang dapat memperlancar atau menghambat transformasi pengetahuan
kepada siswa, dalam hal ini adalah proses belajar.
Menurut Hudoyo (2001: 135): Agar supaya proses belajar
matematika terjadi, bahasan matematika seyogyanya tidak disajikan dalam bentuk
yang sudah tersusun secara final, melainkan siswa dapat terlibat aktif di dalam
menemukan konsep-konsep, struktur-struktur, sampai kepada teorema atau
rumus-rumus. Keterlibatan siswa ini dapat terjadi bila bahan yang disusun itu
bermakna bagi siswa, sehingga terjadinya interaksi antara guru dan siswa
menjadi efektif.
Salah satu pendekatan yang ditawarkan untuk memenuhi
kebutuhan di atas adalah pendekatan induktif-deduktif. Pendekatan
induktif-deduktif didasari pada teori belajar konstruktivisme dan teori Bruner.
Pada pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme ini menuru Mulyana (2005: 25):
Terdapat perhatian pada hal-hal berikut: 1) mengakui adanya konsepsi awal yang
telah dimiliki siswa sebelumnya; 2) menekankan pada kemampuan minds on dan hands-on; 3) mengakui bahwa dalam proses
pembelajaran terjadi perubahan konseptual secara horizontal dan vertical; 4)
mengakui bahwa pengetahuan tidak didapat secara pasif; 5) mengutamakan
terjadinya interaksi sosial. Sementara inti dari teori Bruner, bahwa materi
pelajaran tidak disajikan secara final, tetapi siswa dituntut aktif untuk
memahami konsep yang ada sehingga melalui aktivitas mental dapat diperoleh
konsep yang berikutnya.
Dengan demikian dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk
mengangkat tema "Pengaruh
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Induktif-Deduktif terhadap Pemahaman
Siswa", dengan harapan pendekatan ini dapat meningkatkan pemahaman
konsep siswa.
1.2
Rumusan
dan Batasan Masalah
Rumusan
masalah dari hal yang telah dikemukakan adalah:
1.
Apakah ada peningkatan pemahaman konsep pada siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif ?
2.
Apakah peningkatan pemahaman konsep siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif lebih baik daripada
siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional?
3.
Bagaimanakah respons siswa terhadap pembelajaran matematika
dengan pendekatan induktif-deduktif?
Batasan
masalah dari penelitian ini adalah:
1.
Konsep yang diteliti dibatasi pada pokok bahasan Lingkaran.
2.
Pendekatan induktif-deduktif pada kelas eksperimen.
3.
Hasil yang akan diteliti adalah pemahaman konsep siswa SMP.
1.3
Tujuan
Penelitian
Secara
umum tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui ada peningkatan pada pemahaman konsep siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif.
2.
Mengetahui tingkat pemahaman konsep siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan induktif-deduktif lebih baik dari pada siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional.
3.
Mengetahui respons siswa terhadap pembelajaran dengan
pendekatan induktif-deduktif.
1.4 Penjelasan Istilah
1.
Pendekatan induktif-deduktif adalah proses penyajian konsep
atau prinsip matematika yang diawali dengan pemberian contoh-contoh. menemukan
mengkonstruksi konsep, mengkonstruksi konjektur, menelaah konsep, dan
memberikan soal-soal sesuai dengan konsep dan prinsip yang telah diberikan.
2.
Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah
kegiatan pembelajaran dengan penyajian konsep secara langsung oleh guru dengan
metode ceramah (penjelasan konsep), tanya jawab, pemberian contoh dan latihan.
3.
Pemahaman konsep yang dimaksud adalah pemahaman konsep
menurut Skemp, yang meliputi: pemahaman instrumental, merupakan pemahaman atas
konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana,
dan pemahaman relasional, di mana termuat suatu skema atau struktur yang dapat
digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas.
1.5
Manfaat
Penelitian
1. Bagi
siswa, melalui pembelajaran ini diharapkan dapat menciptakan suasana belajar
yang lebih aktif dan membangun pola pikirnya, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman terhadap konsep yang dipelajari.
2. Bagi guru,
pendekatan induktif-deduktif ini mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan
lingkungan belajar yang efektif. Memberi masukan untuk mendesain pembelajaran
matematika yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa, sebagai salah
satu alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan.
3. Bagi
sekolah, pendekatan pembelajaran ini dapat diterapkan di sekolah. Kepala
sekolah sebagai pemegang kebijakan dapat merekomendasikan kepada guru-guru
untuk menggunakan pendekatan ini dalam pembelajaran.
1.6
Hipotesis
Peningkatan pemahaman konsep matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif lebih baik daripada
siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional.
Hipotesis memegang peranan penting dalam melaksanakan
penelitian. Hipotesis berasal dari dua penggalan kata yaitu “hypo”
yang artinya “dibawah” dan “thesa”
yang artinya “kebenaran”.
Hipotesis ini merupakan jawaban yang bersifat sementara
terhadap masalah penelitian, sampai terbukti masalah yang terkumpul.
Berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan, maka penulis memberikan
kesimpulan sementara sebagai hipotesis penelitian, yaitu terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara sebelum dan sesudah menggunakan pendekatan
induktif-deduktif.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Hakikat
Matematika
Apakah matematika itu? Hingga saat ini belum ada kesepakatan
yang bulat di antara para matematikawan tentang apa yang disebut matematika
itu. Sedangkan sasaran penelaahan matematika itu sendiri sebagaimana kita tahu.
tidaklah konkret melainkan abstrak. Ketika kita sedang melaksanakan
pembelajaran matematika, biasanya kita mendapati simbol-simbol, definisi.
teorema, hingga formula-formula (rumus). Oleh karena itu, untuk menjawab apa matematika
itu? Sejumlah tokoh memberi definisi, komentar, atau pandangan.
Ruseffendi ( 1988:
157): Menyatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh karena itu,
matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni. Agak berbeda
dengan pendapat Dienes, Ernest (2001): Melihat matematika sebagai suatu
konstruktivisme sosial yang memenuhi tiga premis sebagai berikut: (i) The basis of mathematical knowledge is
linguistic language, conventions and rules, and language is a social
constructions; (ii) Interpersonal social processes are required to turn an
individual's subjective mathematical knowledge, after publication, into
accepted objective mathematical knowledge; and (Hi) Objectivity itself will be
understood to be social.
10
|
Reys. dkk. (dalam Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika,
2001: 9) menyatakan bahwa matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan,
suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.
Berbagai pendapat tentang matematika tidak terlepas dari sifat matematika yang
abstrak dan ilmu deduktif.
Dari pemaparan diatas, terdapat beragam pendapat dari para
ahli tentang definisi matematika. Pemaparan yang berbeda dapat disebabkan
karena sudut pandang yang digunakan oleh setiap tokoh berbeda pula. Namun, setidaknya
pemaparan tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita tentang hakikat
matematika.
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan telaah pola dan
hubungan, maksudnya pola dan hubungan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
Matematika juga merupakan pola berpikir, dimana matematika tidak terlepas dari
aturan yang ajeg dan logis. Matematika merupakan bahasa dan seni, dimana bahasa
matematika diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol. Hakikat lain yang sangat
terkait dengan matematika adalah matematika merupakan konstruksi sosial, dimana
dasar dari pengetahuan matematika adalah keterampilan bahasa. Matematika
sebagai konstruksi sosial mengarahkan individu untuk memahami lingkungan
sosialnya.
Matematika sebagai Ilmu Deduktif
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti proses
pengerjaan matematika harus bersifat deduktif, berbeda dengan ilmu alam dan
ilmu umum yang lebih bersifat induktif. Matematika tidak menerima generalisasi
berdasarkan pengamatan, tetapi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun
demikian, untuk membantu pemikiran pada tahap-tahap awal seringkali kita
memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris, dalam kata
lain menggunakan pola induktif (Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika,
2001:47).
Matematika sebagai Ilmu Terstruktur
Menurut Sujono (2001): Mengemukakan beberapa pengertian
matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan
yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Pengertian matematika sebagai
ilmu tentang struktur yang terorganisir juga dikemukakan oleh Ruseffendi (1988:
261).
Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis,
terstruktur, logis, dan sistematis. Mulai dari unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, kemudian kepada unsur-unsur yang didefinisikan. Mulai dari
konsep yang paling sederhana, sampai konsep yang sangat kompleks.
Contoh yang kerap kita jumpai adalah pada Geometri Euclid,
dikenal adanya unsur yang tidak terdefinisi seperti titik, garis, dan bidang.
Dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi tersebut melahirkan unsur yang
didefinisikan seperti sudut, persegi, belah ketupat, bangun ruang, dan
sebagainya. Dari unsur yang didefinisikan, kita ketahui adanya aksioma seperti
melalui sebuah titik diluar garis hanya dapat ditarik sebuah garis yang tegak
lurus terhadap garis tersebut. Kemudian berlanjut hingga kita ketahui adanya
teorema, seperti jumlah sudut segiempat adalah 360°.
Matematika sebagai Ratu dan Pelayan Ilmu
Matematika disebut sebagai ratunya ilmu, karena tidak dapat
disangkal lagi bahwa pengembangan ilmu-ilmu lainnya sangat bergantung pada
perkembangan konsep matematika. Dapat kita katakan bahwa matematika sebagai
sumber dari ilmu lainnya. Namun dari kedudukan matematika sebagai ratu ilmu. tcrsirat
bahwa matematika menjadi pelayan bagi ilmu yang lain.
2.2
Pemahaman
Konsep
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, belajar
matematika itu memerlukan pemahaman konsep-konsep, konsep-konsep ini akan
melahirkan teorema atau rumus. Dengan memahami konsep, maka siswa akan dapat
berfikir kritis, logis, bahkan kreatif, dan dapat mengaplikasikannya pada
berbagai situasi. Seperti yang dikatakan oleh Hidayat (2003: 22): Bahwa kunci
kesuksesan siswa adalah mampu memahami konsep, hukum, teori, dan algoritma (prosedur).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
"pemahaman" berasal dari kata "paham" yang berarti mengerti
benar akan sesuatu, tahu benar. Pemahaman diartikan sebagai proses, cara,
perbuatan memahami atau memahamkan. Sedangkan konsep mempunyai pengertian
gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang
digunakan oleh akal budi, untuk memahami hal-hal lain. Jadi pemahaman konsep
adalah suatu tingkat kemampuan menangkap pengertian akan gambaran mental dari
obyek, proses, atau apapun untuk memahami suatu hal.
Bloom menuturkan (2003: 23): Bahwa pemahaman adalah
kemampuan menangkap pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang
disajikan dalam bentuk yang dapat dipahami, mampu memberikan interpretasi dan
mampu mengklasifikasikannya.
Sementara Michener (1987: 22): Menuturkan bahwa untuk
memahami suatu obyek secara mendalam, seseorang harus mengetahui: 1) obyek itu
sendiri, 2) relasinya dengan obyek lain yang sejenis, 3) relasinya dengan obyek
lain yang tidak sejenis, 4) relasi dual dengan obyek lain yang sejenis, dan 5)
relasi dengan obyek dalam teori lainnya.
Polya mengemukakan empat tingkat pemahaman suatu konsep,
yaitu: Pemahaman Mekanikal, di mana siswa dapat mengingat dan menerapkan suatu
konsep secara benar, Pemahaman Induktif, di mana siswa telah mencobakan konsep
tersebut dalam suatu kasus sederhana, dan yakin bahwa konsep itu berlaku untuk
kasus serupa, dan Pemahaman Rasional, di mana siswa dapat membuktikan konsep
tersebut, serta Pemahaman Intuitif, yaitu yakin akan kebenaran konsep tersebut
tanpa ragu-ragu lagi. Menurut Bruner yang dimaksud intuitif, jika siswa dapat
dengan segera memberikan tebakan yang sangat baik yang kemudian terbukti kebenarannya.
Sementara itu Skemp (1987: 23): Membagi pemahaman ke dalam
dua kategori, yaitu: pemahaman instrumental, merupakan pemahaman atas konsep
yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana; dan pemahaman
relasional, di mana termuat suatu skema atau struktur yang dapat digunakan pada
penyelesaian masalah yang lebih luas.
Menurut Hudoyo (2001: 136): Suatu konsep matematika adalah
suatu ide abstrak yang memungkinkan kita mengklasifikasikan obyek-obyek atau
peristiwa-peristiwa serta mengklasifikasikan apakah obyek-obyek atau
peristiwa-peristiwa itu termasuk atau tidak termasuk ke dalam ide abstrak
tersebut. Hal ini berarti sebelum konsep formal diperoleh siswa, siswa dapat
melihat konsep tersebut melalui fenomena kasar (fisik) yang dapat dilihat atau
diamati.
Dari beberapa penuturan tentang pemahaman dan konsep, dapat
ditarik suatu pengertian tentang pemahaman konsep. yaitu suatu tingkat
kemampuan untuk menangkap pengertian atau ide abstrak dari obyek-obyek atau
peristiwa-peristiwa sehingga mampu melakukan penafsiran, menjelaskan, melakukan
pengklasifikasian dalam bentuk yang paling dimengerti menurut pengetahuan yang
diperoleh siswa, mengaitkan dengan konsep lain, bahkan hingga menemukan konsep
lainnya.
Pada penelitian ini, pemahaman konsep yang digunakan adalah
pemahaman yang dikemukakan oleh Skemp. Pemahaman tersebut meliputi pemahaman
instrumental dan pemahaman relasional.
Secara umum, belajar konsep berguna dalam rangka pendidikan
siswa atau paling tidak punya pengaruh tertentu, antara lain:
1.
Konsep mengurangi kerumitan lingkungan. Lingkungan sangat
kompleks, sulit mempelajarinya jika tidak dirinci menjadi unsur-unsur yang
lebih sederhana. Oleh karena itu, lingkungan yang luas dan rumit itu dapat
dikurangi kerumitannya dengan menjabarkarmya menjadi sejumlah konsep.
2.
Konsep membantu kita dalam mengidentifikasi obyek-obyek yang
ada di sekitar kita, yaitu dengan mengenali ciri-ciri masing-masing obyek.
3.
Konsep dan prinsip membantu kita dalam mempelajari sesuatu
yang baru dengan yang lebih luas dan lebih maju.
4.
Konsep dan prinsip mengarahkan kegiatan instrumental.
Berdasarkan konsep dan prinsip yang telah diketahui, seseorang dapat menentukan
tindakan-tindakan apa yang selanjutnya perlu dilakukannya.
5.
Konsep dan prinsip memungkinkan pelaksanaan pengajaran.
Pengajaran umumnya berlangsung secara lisan, di mana ini terjadi hampir pada
semua jenjang persekolahan. Pengajaran yang lebih tinggi dapat berlangsung
secara efektif jika siswa telah memiliki konsep dan prinsip mengenai berbagai
mata pelajaran yang telah diberikan pada jenjang sebelumnya.
6.
Konsep dapat digunakan untuk mempelajari dua hal yang
berbeda dalam kelas yang sama.
Sementara itu, Dahar (2003: 14) secara khusus merinci
kegunaan konsep dalam matematika, yaitu:
1.
Komunikasi. Komunikasi tidak akan berlangsung dengan baik
jika konsep yang dibicarakan tidak jelas.
2.
Menarik deduksi atau konklusi. Karena matematika bersifat
deduktif maka dengan konsep kita dapat mengetahui bahwa klasifikasi yang kita
lakukan adalah benar.
3.
Generalisasi. Konsep yang sudah diketahui dapat digunakan
untuk membuat generalisasi.
4.
Memperoleh pengetahuan baru.
2.3
Pendekatan
Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran Matematika
Ketika orang akan mengerjakan sesuatu, maka orang tersebut
mestinya menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Untuk mencapai sasaran itu
seseorang memilih pendekatan yang tepat sehingga diperoleh hasil yang optimal,
berhasil guna dan tepat guna. Sejalan dengan hal tersebut makna pendekatan
adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang
disajikan bisa beradaptasi dengan siswa.
Pendekatan induktif-deduktif adalah pendekatan yang
memadukan proses berfikir induktif dengan deduktif. Suherman (2002: 5): Menyatakan
bahwa penyajian bahan pelajaran dari contoh-contoh yang bersifat khusus,
kemudian siswa dituntun untuk membuat kesimpulan disebut pendekatan induktif.
Sebaliknya, dari suatu aturan (definisi, teorema) yang bersifat umum
dilanjutkan dengan contoh disebut pendekatan deduktif.
Walaupun matematika itu menggunakan penalaran deduktif,
proses kreatif penemuan konsep-konsep baru juga terjadi kadang-kadang
menggunakan penalaran induktif, intuisi, bahkan dengan coba-coba (trial
and error). Namun pada akhirnya penemuan dari proses tersebut harus
diorganisasikan dengan pembuktian secara deduktif (Hudoyo, 2001: 48).
Mengenai hal di atas, Chapman (dalam Utari, 1987: 35)
menuturkan bahwa pada dasarnya berfikir induktif tidak mengurangi kemampuan
deduksi seseorang. Karena meskipun hampir sebagian besar semula orang berfikir
induktif, begitu data ditemukan, mereka cenderung segera mengungkapkannya dalam
bentuk yang deduktif. Sejalan dengan itu Utari (1987: 35): Menegaskan bahwa
dalam pengembangan matematika, induksi dan deduksi merupakan kegiatan yang
saling melengkapi.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal
berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental
Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori yang dikembangkan oleh Piaget berkenaan dengan
kesiapan anak untuk belajar yang dikemas dalam tahap-tahap perkembangan
intelektual anak dari lahir hingga dewasa. Setiap tahapannya memiliki
karakteristik tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis
pertama (1989: 159): Menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam
pikiran anak melalm asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
mengabsorbsi pengalaman-pengalaman baru ke dalam skema yang sudah dimiliki.
Sedangkan akomodasi adalah proses mengabsobrsi pengalaman-pengalaman baru
dengan jalan mengadakan modifikasi skema yang ada atau bahkan membentuk
pengalaman yang benar-benar baru (Hudoyo, 2001: 67). Pengertian lain tentang
asimilasi seperti dikemukakan oleh Labinowicz (1980: 36).:
In the process of assimilation-incorporating our perceptions
of new experiences into our existing framework-we resist change even to the
extent that our perceptions may be "bent" to fit the existing
framework.
Suparno (2001): Mengemukakan pengertian akomodasi, yaitu
proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan
baru, atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan
tersebut. Proses akomodasi ini secara tidak langsung mengasah kreativitas
siswa.
Hudoyo ( 2001: 71): Mendefinisikan
belajar matematika sebagai proses di mana siswa secara aktif mengkonstruksi
pengetahuan matematika. Belajar matematika bukanlah suatu proses 'pengepakan'
pengetahuan secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktivitas, di mana
kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berfikir
konseptual.
Yager (2001): Mengajukan
pentahapan yang lebih lengkap dalam pembelajaran yang didasari teori belajar
konstruktivisme antara lain: tahap eksplorasi pengetahuan awal siswa, tahap
penemuan dan penyelidikan konsep, tahap penguatan, dan tahap aplikasi konsep.
Hal ini dapat menjadi pedoman dalam pembelajaran secara umum, pembelajaran
dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan pembelajaran Matematika. Cakupan tersebut
didasarkan pada tugas guru yang tidak mengajarkan mata pelajaran pendidikan
agama dan olah raga merupakan guru kelas. Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan
secara ringkas sebagai berikut.
•
Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan
awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan
pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai sehari-hari oleh
siswa dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, siswa
diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengillustrasikan pemahamannya
tentang konsep tersebut.
•
Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelediki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprestasian
data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan
pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam
lingkungannya.
•
Tahap ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang
didasarkan pada hasil observasi siswa, ditambah dengan penguatan guru.
Selanjutnya, siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang
dipelajari.
•
Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran
yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik
melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah-masalah yang berkaitan
dengan isu-isu dalam lingkungan tersebut.
Teori berikutnya yang menjadi dasar dari pendekatan induktif
– deduktif adalah teori Bruner. Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa
belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang
diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan
struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping
hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.
Dengan mengenal konsep dan struktur dalam bahan yang sedang
dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini
menunjukkan bahwa materi yang memiliki pola tertentu akan lebih mudah dipahami
dan diingat oleh anak.
Dari hasil pengamatan-pengamatan di lapangan, Bruner (dalam
Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika, 2001: 45) mengemukakan empat dalil
yang disebut dalil Bruner yang menjadi dasar dari pendekatan induktif-deduktif,
yaitu dalil penyusunan, dalil notasi, dalil pengontrasan dan keanekaragaman,
serta dalil pengaitan. Keempat dalil tersebut dijelaskan secara ringkas seperti
berikut ini.
a. Dalil
penyusunan
Dalil ini menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai
kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya. anak
harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Maksudnya, anak
belajar menyusun masalah yang dikemukakan, data-data yang diketahui, bagaimana
menjawab permasalahan dengan konsep yang sudah ada.
b. Dalil
notasi
Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep,
notasi memegang peranan penting. Menurut dalil ini, pada waktu konsep disajikan
hendaklah menggunakan notasi konsep yang sesuai dengan tingkat perkembangan
mental anak.
c. Dalil
pengontrasan dan keanekaragaman
Untuk dipahami dengan mendalam diperlukan contoh-contoh yang
banyak, sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Anak
diberikan contoh-contoh yang memenuhi rumusan, teorema atau sifat dan
contoh-contoh yang tidak memenuhi konsep rumusan, teorema atau sifat yang diberikan.
Pemberian contoh-contoh yang demikian adalah upaya pengontrasan.
d. Dalil
pengaitan
Menurut dalil ini siswa hendaknya diberi kesempatan untuk
melihat kaitan-kaitan antara konsep dengan konsep lain, antara topik dengan
topik lain, antara cabang matematika dengan cabang matematika lain.
Bruner terkenal dengan metode penemuan (1988: 155): Yang
dimaksud dengan menemukan adalah menemukan lagi (discovery), bukan menemukan yang sama sekali baru (invention). Oleh karena itu mata
pelajaran tidak disajikan dalam bentuk final dan siswa diwajibkan melakukan
aktivitas mental dalam memahami mated tersebut. Di sini guru bertindak sebagai
fasilitator. Dengan partisipasi aktif siswa. maka konsep atau pun teorema yang
dipelajari akan mudah untuk dipahami. Sejalan dengan teori-teori tersebut,
Hudoyo dalam bukunya (2005: 3): Menyatakan
bahwa dalam pendekatan induktif-deduktif konsep yang didefinisikan tidak
diberikan dalam bentuk final. Namun siswa harus mencoba merumuskan sendiri dari
hasil pengalamannya dengan bahasanya sendiri. Sebelum teorema diberikan secara
deduktif, terlebih dahulu disajikan secara induktif.
Dari penuturan di atas jelaslah bahwa pembelajaran yang
diharapkan terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa adalah
subyek utama. Pengetahuan yang akan diperoleh siswa dikonstruksi sendiri oleh
siswa. Dari pengetahuan-pengetahuan awal yang telah siswa dapatkan sebelumnya,
dari obyek-obyek, fenomena-fenomena sederhana diperoleh pengetahuan baru.
Dengan demikian, pendekatan induktif-deduktif adalah proses
penyajian konsep atau prinsip matematika yang diawali dengan pemberian
contoh-contoh menemukan atau mengkonstruksi konsep, mengkonstruksi konjektur,
menelaah konsep, dan memberikan soal-soal sesuai dengan konsep dan prinsip yang
telah diberikan.
Pada dasarnya pembelajaran dengan pendekatan
induktif-deduktif melalui tiga tahapan. yaitu:
1. Fase
eksplorasi
Dalam fase ini, siswa menyelidiki suatu fenomena, peristiwa,
karakteristik-karakteristik, pola-pola dengan bimbingan minimal dari guru.
Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa dalam menerapkan
pengetahuan awalnya untuk membentuk minat dan prakarsanya serta tetap menjaga
adanya keingintahuan terhadap topik yang sedang dipelajari. Selama pengalaman
ini, siswa akan memantapkan hubungan-hubungan, mengamati pola-pola,
mengidentifikasi variable-variabel, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat
dipecahkan dengan gagasan atau pola-pola penalaran yang biasa digunakan oleh
siswa. Kemungkinan miskonsepsi dapat tejadi pada tahap ini. Dengan demikian
akan timbul pertentangan dan suatu analisis tentang gagasan yang dikemukakan
sebagai hasil eksplorasi mereka. Siswa diberi kesempatan untuk menjelajahi
ide-ide lama, mengembangkan ide-ide baru, mendeskripsikan fenomena yang mereka
alami menurut bahasa yang paling sederhana yang mereka pahami. Analisis
tersebut mengarahkan siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan dari setiap
fenomena yang diselidiki.
2.
Fase pengenalan dan pembentukan konsep
Dalam fase ini guru mengarahkan perhatian siswa pada aspek-aspek
tertentu dari pengalaman eksplorasi. Pada mulanya pelajaran tersebut harus
dijelaskan berdasarkan hasil eksplorasi siswa. Siswa didorong untuk menemukan
pengertian konsep secara tepat. Kunci fase ini adalah ,menampilkan
konsep-konsep secara sederhana, jelas, dan langsung. Penjelasan diberikan dari
suatu tindakan atau proses. Setelah siswa dibimbing guru menemukan konsep yang
tepat, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki konsep lebih lanjut.
3.
Fase aplikasi konsep
Pada fase ini, siswa berlatih menyelesaikan soal-soal yang
berkaitan dengan konsep atau teorema yang telah disepakati oleh seluruh siswa
pada fase sebelumnya. Dalam fase ini pula siswa dapat diberi kesempatan untuk
mengidentifikasi fenomena, pola-pola. problem-problem baru yang dierikan
melalui soal-soal. Selama diskusi dan pertanyaan-pertanyaan. kelompok dan
individu diyakinkan untuk menunjukkan konsep-konsep inti yang diterapkan dalam
konteks yang berbeda. Tujuan pengajaran ini adalah untuk mengasah kemampuan
mentransfer ide-ide. Pada contoh-contoh lain dengan menggunakan konsep inti.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1
Metode dan
Disain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen, sebab dalam peneiitian ini diberikan suatu perlakuan untuk
mengetahui hubungan antara perlakuan tersebut dengan aspek yang akan diukur.
Dalam hal ini, perlakuan yang diberikan adalah pembelajaran dengan pendekatan
induktif-deduktif. Aspek yang diukur adalah pemahaman konsep siswa.
Dalam penelitian ini. peneliti membagi sampel penelitian ke
dalam dua kelompok. Satu kelas sebagai kelompok eksperimen yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif sebagai perlakuan, dan satu
kelas sebagai kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran seperti biasa
sebagai perlakuan. Kedua kelompok diberikan pretes dan postes. Dengan
demikian, disain peneiitian yang digunakan adalah disain kelompok control
pretes-postes yang melibatkan dua kelompok sebagai berikut.
A O X1 O Dengan:
A
: pemilihan kelas secara acak
A O X2 O O : pretes/
postes
Xi:
pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif
26
|
3.2
Subjek
Penelitian
Populasi
peneiitian ini adalah seluruh siswa MTs
Al-Inaayah Bogor kelas VIII. Kelas VIII di MTs Al-Inaayah terdiri atas 4 kelas,
dengan jumlah siswa rata-rata 25 orang dengan kemampuan siswa merata di setiap
kelas (tidak ada kelas unggulan). Sampel diambil dengan menggunakan teknik acak
sederhana pada kelas. Dari beberapa kelas pada kelas VIII diambil dua kelas
secara acak, dari dua kelas tersebut dipilih secara acak satu kelas sebagai
kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol.
3.3
Instrumen
Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk
non-tes dan tes. Instrumen non-tes adalah jumal harian siswa. lembar observasi,
sedangkan instrumen tes adalah tes pemahaman konsep (pretes dan postes).
3.3.1.
Instrumen
Penelitian yang Digunakan
Instrumen Penelitian yang Digunakan
a. Jurnal
Harian Siswa
Jurnal siswa berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang
berkenaan dengan pembelajaran yang dilaksanakan pada tiap pertemuan dan
diberikan kepada siswa pada akhir pembelajaran. Tujuan dari pengisian jurnal
ini adalah untuk mengetahui tentang tanggapan dan pendapat siswa terhadap
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
b. Lembar
Observasi Siswa dan Guru
Format observasi aktivitas siswa dan guru ini memuat
aspek-aspek yang penting dalam suatu proses pembelajaran menyangkut kegiatan
yang dilaksanakan oleh siswa dan guru untuk memoeroleh gambaran. baik secara
umum maupun secara khusus dari aspek-aspek proses pembelajaran yang sedang
dikembangkan. Pengamatan dilakukan sejak awal kegiatan pembelajaran hingga
akhir guru menutup pelajaran.
c. Tes
Pemahaman Konsep
Dalam Webster's Collegiate (dalam Suherman, 2003: 65),
dinyatakan bahwa tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain
yang digunakan untuk mengukur keterampilan. pengetahuan, inteligensi, kemampuan
atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes yang digunakan dalam
peneiitian ini adalah pretes (tes awal) dan postes (tes akhir).
Pretes dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa
sebelum mengikuti pembelajaran. Sedangkan postes dimaksudkan untuk mengetahui
kemampuan siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
induktif-deduktif, khususnya dalam pemahaman konsep matematika. Soal pretes dan
postes dibuat ekuivalen. Benmk tes yang digunakan adalah tes uraian, sebab tes
uraian dapat mengukur kemampuan kognitif tingkat tinggi siswa, dan dapat
mengetahui interpretasi siswa terhadap suatu konsep.
3.3.2.
Uji Coba
Instrumen Penelitian
Uji coba instrumen ini dilakukan
terhadap instrumen tes. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengkonsultasikan
instrumen kepada dosen pembimbing dan guru bidang studi untuk mengetahui
validitas teoritik. Selaniutnya instrument tes diujicobakan kepada siswa kelas
VIII yang telah menerima materi Lingkaran yaitu siswa kelas VIII A MTs
Al-Inaayah Bogor dengan tujuan untuk mengetahui kevalidan soal tes sehingga
layak untuk digunakan. Dasar dipilihnya siswa kelas VIII-A MTs Al-Inaayah Bogor
dalam uji coba instrumen adalah tingkat kemampuan matematika siswa yang
sebanding dengan siswa di MTs As-Syafi’yah Bogor. Setelah uji coba instrumen.
kemudian dilakukan analisis hasil tes dengan rumusan sebagai berikut:
a.
Validitas
Soal
Suatu alat evaluasi disebut valid
apabila alat evaluasi tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya
dievaluasi. Untuk mengetahui koefisien validitas suatu soal menurut Suherman
(2003: 120) digunakan rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (raw score) yaitu:
Keterangan:
rxy
= koefisien korelasi antara variable X dan Y
N = jumlah subjek
X = nilai hasil tes yang akan dicari koefisien
validitasnya
Y = skor total
Klasifikasi validitas butir soal yang
digunakan menurut Guilford, J.P, (dalam Suherman, 2003:113) adalah sebagai berikut:
0,90 < rxy 1,00 Validitas sangat tinggi
0,70 < rxy 0,90 Validitas tinggi
0,40 < rxy 0,70 Validitas sedang
0,20 < rxy 0,40 Validitas rendah
0,00 < rxy 0,20 Validitas sangat rendah
rxy
< 0,00 Tidak valid
b.
Reliabilitas
Suatu alat evaluasi disebut reliable,
jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk setiap subyek
yang berbeda.
Rumus yang digunakan untuk mencari
koefisien reliabilitas bentuk uraian menurut Suherman (2003:54) dikenal dengan
rumus Alpha sebagai berikut:
dengan n
= banyak butir soal (item).
=
jumlah varians skor setiap item, dan
=
varians skor total
Untuk menginterpretasikan derajat
reliabilitas alat evaluasi, digunakan tolak ukur yang dibuat oleh J. P Guilford
(Suherman:139) berikut ini:
0,90 < r11 1,00 Reliabilitas
sangat tinggi
0,70 < r11 0,90 Reliabilitas
tinggi
0,40 < r11 0,70 Reliabilitas
sedang
0,20 < r11 0,40 Reliabilitas
rendah
r11 < 0,20 Reliabilitas
sangat rendah
c.
Daya
Pembeda
Daya pembeda suatu butir soal menyatakan
seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang
dapat menjawab soal dan siswa yang tidak dapat menjawab soal. Untuk menentukan
daya pembeda digunakan rumus:
DP
=
Keterangan:
= Rata-rata skor siswa pada kelompok atas
= Rata-rata skor siswa pada kelompok bawah
SMI = Skor Maksimum Ideal
Klasifikasi untuk daya pembeda yang
digunakan menurut Guilford, J.P (dalam Suherman, 2003:161) adalah sebagai
berikut:
DP < 0,00 sangat jelek
0,00 DP < 0,20 jelek
0,20 DP < 0,40 cukup
0,40 DP < 0,70 baik
0,70 DP < 1,00 sangat baik
d.
Indeks
Kesukaran
Indeks kesukaran menyatakan derajat
kesukaran suatu butir soal. Rumus yang digunakan untuk menentukan indeks
kesukaran soal uraian adalah:
Keterangan:
IK = Indeks Kesukaran
JBA = Jumlah skor kelompok
atas
JBB = Jumlah skor kelompok
bawah
JSA = Jumlah subjek kelompok
atas
JSB = Jumlah subjek kelompok
bawah
Klasifikasi interpretasi untuk indeks kesukaran
yang digunakan menurut Guilford, J.P (Suherman, 2003:170) adalah sebagai
berikut:
IK < 0,00 Soal terlalu sukar
0,00 DP < 0,30 Soal sukar
0,30 DP < 0,70 Soal sedang
0,70 DP < 0,10 Soal mudah
0,70 DP < 1,00 Soal terlalu mudah
3.4
Prosedur Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini terbagi dalam tiga tahap,
yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.
Tahap Persiapan
Langkah awal sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan adalah
pengajuan masalah penelitian kepada koordinator skripsi yang dituangkan daiam
bentuk proposal penelitian. Proposal yang telah disetujui diseminarkan untuk
memperoleh pertimbangan dan masukan-masukan terhadap masalah yang akan
diteliti.
Setelah proposal penelitian diseminarkan dan disetujui oleh
tim penguji. penulis mengajukan permohonan surat izin penelitian dari Fakultas
MIPA Jurusan Matematika Setelah surat izin penelitian selesai dibuat, penulis
mengajukan surat tersebut kepada pihak sekoiah tempat dilaksanakannya
penelitian, yaitu di MTs Al – Inaayah Bogor.
Setelah disetujui, penulis kemudian
berkonsultasi dengan guru bidang studi tentang karakter pembelajaran yang biasa
digunakan, karakter dan hasil belajar siswa, karakter pembelajaran yang akan
dilaksanakan dalam penelitian, serta menentukan salah satu pokok bahasan yang
akan disampaikan dalam penelitian, yaitu Lingkaran berikut silabus dan bahan
ajarnya. Kemudian melalui proses acak diperoleh dua kelas sebagai sampel
penelitian seperti dikemukakan sebelumnya. Langkah berikutnya adalah merancang
instrumen penelitian yang kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.
Tahap Pelaksanaan
Sebelum perlakuan diberikan, dilakukan pengambilan data
berupa pretes dari kedua kelompok untuk mengetahui kemampuan awal seluruh siswa
dari kedua kelompok. Pada saat pelaksanaan pembelajaran. pada kelas eksperimen
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif dan pada kelas
kontrol dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan konvensional. Pada tahap ini
juga dilakukan langkah-langkah berikut: (1) observasi kelas. (2) diskusi dengan
guru dan para observer setelah proses pembelajaran dilaksanakan, (3) diskusi
jurnal harian dengan para siswa untuk melakukan ekspektasi terhadap
pembelajaran.
Pada kelas eksperimen, pembelajaran dilakukan melalui
diskusi kelompok. Tahap pertama, siswa dibagi dalam enam kelompok, kemudian
guru memberikan lembar kegiatan siswa untuk dipelajari. Dalam lembar kegiatan
siswa tersebut terdapat bagian induktif yang disampaikan melalui cerita,
contoh-contoh masalah, pola-pola gambar, hubungan rumus-rumus dasar, dan
lainnya, kemudian generalisasi, hingga bagian deduktif yang menyangkut
penelaahan konsep, hingga aplikasi konsep yang berupa latihan soal. Sebelum
diskusi kelompok dimulai, guru memberikan apersepsi kepada siswa tentang materi
yang akain didiskusikan. Dilanjutkan dengan diskusi kelompok, dalam hal ini,
guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator. Tahap berikutnya adalah
diskusi antar kelompok, dimana selain siswa dituntut untuk saling bertukar ide
dengan kelompok lainnya juga dituntut untuk dapat mempertahankan pendapatnya.
Tahap berikutnya adalah bagian penutup, dimana guru membimbing siswa untuk
menarik kesimpulan dari konsep yang sedang dibahas.
Pada kelas kontrol, pembelajaran dimulai dengan apersepsi
tentang materi yang akan disampaikan. Kemudian penjelasan konsep diberikan guru
melalui ceramah. Tahap berikutnya siswa diberikan kesempatan untuk bertanya
tentang konsep yang dijelaskan. Selanjutnya guru membawa siswa untuk
memperhatikan contoh-contoh dari konsep yang dijelaskan dan membimbing siswa
untuk mendapatkan hubungan antar konsep, selanjutnya siswa diberikan latihan.
Untuk mengetahui apakah siswa sudah memahami konsep yang disampaikan, guru
secara acak menunjuk siswa untuk mengerjakan latihan di depan kelas.
Tahap Akhir
Langkah terakhir dari penelitian ini adalah melakukan
pengolahan dan penganalisisan dari data yang diperoleh. Setelah hasil analisis
didapatkan, maka dapat dibuat kesimpulan hasil penelitian.
3.5
Teknik
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan untuk mengubah data mentah hasil
penelitian menjadi data yang siap dianalisis. Analisis data yang dilakukan
dalam penelitian ini meliputi dua data, yaitu data yang bersifat kuantitatif
dan data yang bersifat kualitatif. Adapun prosedur analisis dari tiap data sebagai
berikut:
3.5.1.
Analisis
data kualitatif
Data yang dianalisis secara kualitatif adalah data yang
berasal dari lembar observasi, dan jurnal harian.,
3.5.2
Analisis
data kuantitatif
Analisis data kuantitatif yaitu data yang berasal dari tes
kemampuan pemahaman siswa meliputi data pretes, postes, dan peningkatan (gain / indeks gain). Tujuan dari
analisis ini adalah untuk melihat pemahaman konsep matematika siswa kelas
eksperimen dan perbandingannya dengan kelas kontrol.
Pemberian skor dilakukan terhadap hasil pretes dan postes
baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Cara pemberian skor dilakukan
menurut kadar kesulitan soal tersebut dan banyaknya konsep yang ingin
dimunculkan dalam jawaban siswa. Soal dengan kadar kesulitan tinggi atau
memunculkan konsep-konsep. maka skor pada soal tersebut lebih tinggi daripada
soal yang hanya memunculkan sedikit konsep dan relatif mudah. Soal nomor 1
memiliki skor 30, soal nomor 2 memiliki skor 5, soal nomor 3 memiliki skor 10,
soal nomor 4 memiliki skor 10, soal nomor 5 memiliki skor 10, soal nomor 6
memiliki skor 25, soal nomor 7 memiliki skor 10, soal nomor 8 memiliki skor 10,
soal no 9 memiliki skor 10. Jika siswa dapat menjawab semua soal dengan benar,
maka skor maksimal yang akan diperoleh adalah 120. Sehingga diperoleh skor
pretes dan skor postes.
Adapun analisis data yang dilakukan adalah menurut
langkah-langkah berikut:
1. Analisis
data pemahaman siswa kelas eksperimen.
a.
Uji Normalitas, untuk mengetahui apakah data pretes dan
postes kelas eksperimen yang diperoleh berdistribusi normal.
b.
Uji kesamaan dua rata-rata. untuk mengetahui apakah rata-rata
pretes dan rata-rata postes kelas eksperimen sama.
2. Analisis
data peningkatan (gain / indeks gains)
pemahaman antara kelas kontrol dan kelas eksperimen.
a. Uji
Normalitas, untuk mengetahui apakah data peningkatan (gain / indeks gain) kemampuan yang diperoleh berdistribusi normal.
b. .Uji
Homogenitas. untuk mengetahui apakah variansi dari data peningkatan (gain / indeks gain) kemampuan kelas
kontrol dan kelas eksperimen sama (identik).
c.
Uji kesamaan dua rata-rata. untuk mengetahui apakah rata-rata
dari data peningkatan (gain / indeks
gain) kemampuan kelas kontrol dan kelas eksperimen sama (identik). Jika
variansi data peningkatan homogen, maka uji kesamaan dua rata-rata menggunakan uji
t’. Jika variansi data peningkatan tidak homogen. maka uji kesamaan dua rata-rata
menggunakan uji t’
BAB 1V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Al- Inaayah Bogor, dari tanggal 10 Juli 2010 sampai
dengan 12 Agustus 2010. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian
adalah seluruh siswa MTs Al- Inaayah Bogor kelas V111. Dari delapan kelas yang
ada, dipilih dua kelas secara acak untuk dijadikan sebagai sampel penelitian.
Dari dua kelas yang telah terpilih, dipilih kembali secara acak untuk dijadikan
kelaskontrol dan kelas eksperimen.
Berdasarkan informasi dari pihak
sekolah tersebut, tidal diberlakukan sistem kelas unggulan. Sehingga seluruh
kelas V111 yang ada, dapat dikatakan memiliki kemampuan yang sama, sebagai data
yang mendukung asumsi tersebut dapat dilihat pada lampiran. Karena penelitian
tidak mungkin membentuk kelas baru, maka pemilihan kelas control dan kelas
eksperimen dipilih dari kelas-kelas yang sudah ada. Melalui pemilihan secara
acak di peroleh kelas V111–A sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang dan
kelas V111-B sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang.
Kelas V111-A sebagai kelas kontrol
memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional,
sedangkan kelas V111-B sebagai kelas eksperimen memperoleh pembelajaran
matematika dengan pendekatan induktif-deduktif.
38
|
4.1.1
Pemahaman Konsep Siswa
Untuk
mengetahui adanya peningkatan pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen,
perlu di lakukan uji kesamaan dua rata-rata, terhadap rata-rata data pretes dan
postes dari kelas eksperimen. Adanya peningkatan pemahaman pada siswa kelas
eksperimen dapat menunjukkan bahwa pendekatan induktif-deduktif yang digunakan
dalam pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman terhadap siswa. kemudian, untuk
mengetahui kelas mana yang pemahaman konsepnya lebih baik, perlu dilakukan uji
kesamaan dua rata-rata antara data postes kelas eksperimen dengan data postes
kelas kontrol.
a.
Pemahaman Konsep Siswa Kelas
Eksperimen
Untuk
mengetahui adanya peningkatan pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen,
perlu dilakukan uji kesamaan dua rata-rata antara data pretes dan postes kelas
eksperimen. Sebelum itu, dilakukan uji normalitas terhadap kedua data tersebut.
Uji Normalitas
Uji
normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kolgomorov-Smirnov
dengan bantuan SPSS 15.0 for windows.
Hipotesis uji normalitas dirumuskan sebagai berikut.
H0: Data pretes dan postes kelas eksperimen
distribusi normal.
H1: Data pretes dan postes kelas
eksperimen tidak berdistribusi normal.
Hasilnya dapat dilihat pada table
berikut ini.
Tabel 4.1 Uji Normalitas kelas Eksperimen
Dari
table diatas dapat dilihat untuk pretes kelas eksperimen didapat nilai
signifikasi pada uji kolgomorov-smirnov
yaitu 1,779 sedangkan untuk postes kelas eksperimen diperoleh nilai signifikasi
yaitu 1,970 Karena nilai sinifikasi dari hasil pengolahan tersebut lebih dari
taraf signifikasi
0,05,
maka berdasarkan criteria pengujuian data pretes dan data postes dari kelas
eksperimen distribusi normal (H0 diterima). Analisis uji normalitas data
kelaseksperimen selengkapnya dapat dilihan pada lampiran.
Uji Kesamaan Dua Rata-rata
Uji
kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk melihat apakah pemahaman konsep siswa
setelah memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif
lebih baik dari pada sebelum pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
induktif-deduktif. Uji kesamaan dua rata-rata ini menggunakan paired sample t-test, karena data
distribusi normal dan sampelnya berpasangan (paired sample). Hipotesis uji kesamaan dua rata-rata adalah:
H0
: Rata-rata pretes kelas
eksperimen sama dengan rata-rata postesnya.
H1
: Rata-rata pretes kelas
eksperimen kurang dari rata-rata postesnya.
Hsil dari uji kesamaan dua rata-rata
dengan bantuan software SPSS for
windows dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 4.2 Uji kesamaan Dua rata-rata
kelas eksperimen
Pada
tabel didapat nilai t hitung 0,945, sedangkan nilai t table dengan derajat
kebebasan (probabilitas) 5%/0,05 yaitu 1,701 Karena nilai t hitung kurang dari
–t (1 –
) . (n – 1), maka berdasarkan kriteria
pengujian H0 ditolak atau
rata-rata pretes lebih kecil secara signifikan dari rata-rata postes, sehingga
dapat dikatakan bahwa paea kelas eksperimen pemahaman siswa setelah
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif lebih baik
dibandingkan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan
pendekatan induktif-deduktif dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan
pemahaman konsep siswa. analisis uji kesamaan dua rata-rata data kelas
eksperimen selanjutnya dapat dilihat pada lampiran.
4.1.2
Perbandingan Peningkatan Pemahama Konsep
Siswa
Pada perbandingan peningkatan
pemahaman konsep siswa ini, data yang dijadikan sebagai acuan perbandingan
adalah data peningkatan (indeks gain)
pemahaman antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Seperti telah
dikemukakan sebelumnya,bahwa pemahaman konsep siswa dikelas eksperimen
mengalami peningkatan. Peningkatan pemahaman yang terjadi baik pada kelas
eksperimen maupun kelas kontrol adalah positif ( lihat lampiran ). Untuk
mengetahui peningkatan pemahaman konsep dikelas mana yang lebih baik, perlu
dilakukan uji kesamaan dua rata-rata antara data peningkatan klas eksperimen
dan kelas kontrol.
Uji
Normalitas
Untuk uji normalitas ini menggunakan
statistik uji kolgomorov-smirnov
dengan bantuan software SPSS for windows.
Hasilnya dapat dilihat pada table berikut.
H0 : Data
peningkatan kelas eksperimen dan kontrol berdistribusi normal.
H1 : Data
peningkatan kelas eksperimen data kontrol tidal berdistribusi normal.
Hasilnya dapat dilihat pada table berikut ini:
Tabel 4.3 Uji normalitas Pemahaman konsep
Dari table diatas dapat dilihat
untuk indeks gain kelas eksperimen
didapat nilai signifikan pada uji kolgomorov-smirnov
yaitu 1,455, sedangkan untuk indeks gain
kelas kontrol diperoleh nilai signifikansi yaitu 1,660. Karena nilai nilai
signifikansi keduanya lebih dari
,
maka berdasarkan kriteria pengujian data indeks gain kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal (H0
diterima).
Uji Kesamaan Dua Rata-rata
Uji kesamaan dua rata-rata ini
menggunakan independent sample t-test,
karna data distribusi normal dan sampelnya bebas. Uji kesamaan dua rata-rata
ini meliputi dua tahap analisis yaitu:
1.
Dengan
Leven’s Test, untuk menguji
homogenitas varians kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2.
Dengan
T-test, sebagai uji kesamaan dua
rata-rata dari data peningkatan kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hasil
uji kesamaan dua rata-rata dengan bantuan software
SPSS for windows dapat dilihat pada
table berikut:
Tabel 4.4 Uji kesamaan Dua rata-rata
kelas Eksperimen
Dari
table diatas diketahui bahwa F hitung adalah 0.885. Dengan nilai signifikansi.
Karena nilai signifikansi lebih dari a = 0,05, berdasarkan kriteria
pengujian maka H0 diterima, atau variansi indeks gain kelas eksperimen dan kelas kontrol
adalah identik (sama).
Uji
t untuk uji kesamaan dua rata-rata dengan asumsi variansi sama, hipotesisnya
adalah sebagai berikut.
H0 :
Rata-rata indeks gain kelas
eksperimen dan kelas kontrol adalah sama.
H1 :
Rata-rata indeks gain kelas
eksperimen lebih baik dari rata-rata gain
kelas kontrol.
Pada
table didapat nilai thitung 31,04, sedangkan nilai ttable
dengan derajat kebebasan 0.95 dan probabilitas 0,05 yaitu 1,671. Karena
nilai thitung lebih besar
dari t (1 –
)
.(n1 + n2 – 2),
maka H0 ditolak atau dapat dikatakan bahwa peningkatan (gain/indeks
gain) kemampun siswa kelas eksperimen
lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan peningkatan (gain / indeks gain) kemampuan siswa kelas kontrol. Dengan demikian dapat
disimpulkan, pemahaman konsep matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan induktif-deduktif lebih baik daripada pemahaman konsep matematika
siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional.
4.2
Pembahasan
Setelah
memperoleh hasil data penelitian yang dilakukan dilapangan maka pengolahan
datapun dilakukan, maka diperoleh hasil penelitian berupa hasil perhitungan
statistik. Hasil perhitungan statistik perlu diberi makna sehingga diperoleh
gambaran yang lebih jelas melalui analisis berbagai konsep, teori dan empirik
sebagai berikut.
4.2.1 Perbandingan
Pemahaman Konsep
Berdasarkan
hasil penelitian, analisis dan pengolahan data, dengan uji kesamaan dua
rata-rata sekor pretes dan postes kelas eksperimen dimana data tersebut
merupakan data berpasangan yaitu menggunakan paired sample t-test telah dapat terjawab salah satu masalah yang
diajukan dalam penelitian ini. Pemahaman konsep siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan induktif-deduktif mengalami peningkatan yang signifikan.
Pada
dasarnya peningkatan yang signifikan atas pemahaman konsep juga terjadi pada
siswa kelas kontrol. Penulis berpendapat bahwa hal ini merupakan suatu
keniscayaan dari proses pembelajaran. Dasar pemikiran dari pendapat tersebut
adalah baik dari pembelajaran matematika dengan pendekatan
induktif-deduktif ataupun pembelajaran
matematika dengan pendekatan konvensional, keduanya melibatkan aktivitas
belajar siswa. pada kedua pembelajaran yang menggunakan pendekatan berbeda ini,
siswa secara telah mengalami proses belajar, dimana hasil dari proses belajar
ini adalah adanya perubahan tingkah laku (dalam hal ini peningkatan pada
pemahaman konsep) yang relatif permanen. Hal ini sejalan dengan pendapat para
ahli tentang belajar antara lain:
1.
Belajar
merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman atau pengetahuan baru
sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku (Hudoyo,2001:92).
2.
Belajar
merupakan proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil pengalaman
(Fontana dalam Tim MKPBM,2001:8).
3.
Belajar
adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern
pada diri pembelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,sehingga melahirkan
perubahan tingkah laku (Hamzah,2001).
4.
Belajar
adalah mengalami (Izzudin,2006:8).
5.
Belajar
adalah berupaya memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih dan perubahan tingkah
laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (KBBI).
Berdasarkan
pengertian tentang belajar yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa
melalui aktivitas, usaha, atau pengalaman yang telah siswa alami selama proses
pembelajaran baik dengan pendekatan induktif-deduktif ataupun pendekatan
konvensional, siswa telah mengalami perubahan tingkah laku, yaitu peningkatan
pemahaman terhadap konsep pembelajaran.
Dengan
uji kesamaan dua rata-rata skor indeks gain
menggunakan independen sampel T-Test telah dapat menjawab masalah kedua yang
diajukan dalam pnelitian ini. Peningkatan pemahaman konsep siswa yang
menggunakan pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif lebih baik dari
pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Dari
hasil analisis skor indeks gain dari kedua kelas, secara jelas menunjukan bahwa
pada keduanya terjadi perubahan tingkah laku khususnya dalam peningkatan konsep
pembelajaran matematika, ternyata peningkatan yang terjadi pada kelas
induktif-deduktif lebih baik secara signifikan dibandingkan pada kelas
konvensional. Hal inilah yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini. Secara
umum hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal menyangkut potensi dasar dan
minat siswa terhadap matematika. Faktor eksternalnya antara lain, faktor guru
dan aktivitas siswa selama pembelajaran. Faktor eksternal ini memiliki peranan
penting terhadap perbedaan peningkatan pemahaman konsep matematika pada dua
kelompok siswa.
Pembelajaran
matematika dengan pendekatan induktif-deduktif memiliki perinsip dasar menurut teori
kontruktivisme. Pada pembelajaran ini siswa dikondisikan untuk mengeksplorasi
potensinya dalam mengkonstruksi konsep-konsep sehingga tebentuk pengetahuan dan
pemahaman baru yang dilakukan secara dominan oleh siswa. Seperti apa yang
dikemukakan oleh Noraziah (2001)
mengenai aplikasi prinsip pembelajaran kontrukstivisme secara teknis, dimana
terlihat dalam pembelajaran induktif-deduktif yang telah dilakukan adalah
sebagai berikut.
· Siswa diberi peluang saling bertukar
pendapat antara satu sama lain
· Siswa diberi peluang mengemukakan
pandangan tentang sesuatu konsep
· Siswa diajak untuk saling
menghormati pandangan alternatif dari teman mereka
· Pembelajaran berpusat pada siswa
· Siswa diajak untuk merenungkan
kembali proses pembelajaran yang dilaluinya
· Siswa diminta menghubungkan gagasan
awal dengan gagasan yang baru dikonstruksi
· Siswa diajak untuk mengemukakan
hipotesis
· Guru tidak menyampaikan maklumat
kepada siswa secara terus menerus kepada siswa
· Siswa banyak berinteraksi dengan
siswa yang lainnya dan guru
· Guru memberikan perhatian terhadap
keutuh, kebolehan dan minat siswa
· Siswa dikondisikan untuk belajar
secara kelompok
Pada
pembelajaran konvensional aktivitas-aktivitas yang dikemukakan diatas kurang
terfasilitasi karena dalam pembelajaran biasanya siswa lebih ditekankan untuk
menjadi pendengar, siswa tidal diberi kesempatan untuk mengemukakan konsep yang
dipelajari. Pelajaran berjalan membosankan bagi siswa, sebab metode yang
mekanik tidal menimbulkan minat siswa, sementara ingatan yang mekanik akan mudah
dilupakan oleh siswa (Hudoyo,2001:109). Sementara itu seperti yang telah
dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa siswa tidal diharapkan sebagai
botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai
dengan kehendak guru. Menurut Wheatley, beliau mendukung pendapat tesebut
dengan mengajukan dua perinsip utama dalam pembelajaran dengan teori
pembelajaran kontruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara
pasif, tetapi secara aktif oleh struktuk kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Hal-hal
diatas menjadi dasar pemikiran bagi penulis sebagai penjelasan dari hipotesis
yang telah diterima dalam penelitian ini, yaitu bahwa peningkatan pemahaman
konsep matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
induktif-deduktif lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya dilakukan
secara biasa. Dalam hal ini tidal berarti bahwa pembelajaran konvensional
adalah pembelajaran yang buruk, akan tetapi pembelajaran ini kurang dapat
mengeksplorasi kemampuan siswa dalam mengkonstruksi pemahaman konsep secara
optimal
4.2.2
Respons Siswa
Berdasarkan
hasil penelitian, ditemukan bahwa respons siswa terhadap pembelajaran
induktif-deduktif cenderung positif. Hal ini dapat dilihat dari hasil angket
siswa, dan jurnal harian yang dilakukan terhadap sejumlah siswa.
Pada
jurnal harian siswa, secara umum siswa sangat tertarik dan merasa senang dengan
belajar diskusi, karena mereka bias saling bertukar fikiran, menambah wawasan,
saling melengkapi jawaban, saling membantu dalam memahami konsep pembelajaran
dan mengerjakan soal-soal, saling menguatkan pendapat kelompok, mengobservasi,
melakukan percobaan-percobaan, dan kondisi pembelajaran yang lebih aktif dan
dinamis. Walaupun demikian, pada penelitian ini belum dapat membuat siswa
sepenuhnya menyukai pembelajaran yang mengkondisikan mereka untuk
mengkonstruksi konsep secara dominan dari siswa. hal ini dikuatkan dari
penemuan hasil angket dimana siswa masih menyukai pembelajaran yang berpusat
dari guru (guru memberikan penjelasan kepada siswa terlebih dahulu).
Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa hasil angket siswa menunjukkan,
bahwasannya sebagian besar siswa merespon positif terhadap pembelajaran yang
diberikan. Hal ini dikuatkan dengan hasil wawancara dengan beberapa orang
siswa, dimana siswa mwrasakan pembelajaran yang lebih mandiri, aktif, lebih
banyak diskusi, dan sebagainya. Tidal sedikit siswa yang senang dengan cara
belajar kelompok. Hal tersebut wajar mengingat siswa adalah individu yang
membutuhkan lingkungan sosial. Seiring dengan hakikat matematika dimana
matematika senagai konstruksi sosial mengarahkan individu untuk memahami
lingkungan sosialnya. Adanya diskusi dalam pembelajaran dengan pendekatan
induktif-deduktif menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya. Siswa tidak
hanya belajar semata untuk dirinya sendiri, tetapi siswa mendapatkan lingkungan
sosial untuk bertukarpikiran, member tanggapan, mendapat pengakuan terhadap ide-idenya,
dan lainnya. Sementara dalam pembelajaran konvensional kebutuhan tersebut
kurang terfasilitasi.
BAB
V
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.
Terdapat
peningkatan yang signifikan terhadap pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran
matematika dengan pendekatan induktif-deduktif.
2.
Peningkatan
pemahaman konsep matematika siswa yang menggunakan pendekatan induktif-deduktif
lebih baik dan signifikan dari pada pemahaman konsep matematika siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional.
3.
Respons
siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif
berdasarkan jurnal harian, angket siswa mendapatkan respons yang positif. Pada
umumnya para siswa menyukai pembelajaran yang diberikan. Diskusi kelompok
menambah motivasi siswa dalam pembelajaran.
5.2
Saran
52
|
Penelitian
ini dilakukan terhadap siswa kelas V111 MTs Al-Inaayah Bogor. Sebagai
penelitian lebih lanjut, penulis merekomendasikan agar selanjutnya dilakukan
penelitian pada siswa dengan jenjang yang berbeda. Selain itu, dikarenakan
dalam penelitian ini hanya terpokus pada teori lingkaran saja, maka penulis
merekomendasikan agar pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif
diujicobakan pada pembahasan dan materi yang lain.
Peneliti
juga merekomendasikan untuk melakukan penelitian tentang pendekatan
induktif-deduktif dengan berbagai kombinasi dan model pembelajaran terhadap
variabel terkait lainnya dan menggarap secara serius bagaimana menumbuhkan
minat dan motivasi siswa terhadap matematika. Seperti yang peneliti temukan
dilapangan bahwa cukup banyak siswa yang minatnya kurang terhadap matematika.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi, O. (2007). Panduan Praktis Pengolahan Data Statistik
dengan SPSS 15.0. Semarang: Wahana Komputer.
Alwi, H., dkk. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Dahar, R. W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Dahlan, J. A.(2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan
Pemahaman Matematika Siswa SLTP Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertai PPS. UPI Bandung.
Ernawati. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematika Siswa SMU melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. FPMIPA UPI
Bandung.
Furqon. (2004). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung CV.ALFABETA.
Hamzah. (2001). Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme [online]
http://www.depdiknas.go.id/jurnal40/pembelajaran. [20 Agustus 2010]
Hudoyo, H. (2001). Pengembangan Kurrikulum dan Pengembangan
Matematika. Malang: UNM Malang.
Izzudin, S. A. (2006). Quantum Tarbiyah Mencetak Kader Serba Bisa.
Solo: Bina Insani Press.
Noraziah. (2001). Kontruktivisme
dalam Pengajaran dan Pembelajaran.
[online]
http://www.geocities.com/azam60/Tugasan2ASAS.htm#konstruktivisme. [22 Agustus
2010]
Riduan,& Sunarto. (2009). Pengantar Statistika. CV ALVABETA.
Bandung.
Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sudjana. (2005). Metoda Statistik. Bandung: Tarsito.
No comments:
Post a Comment